Saiful Mujani: Soal Reshuffle, Justru Kalla yang Pusing
MASALAH reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu menyeruak ke permukaan menyusul ketaksanggupan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatasi persoalan-persoalan ekonomi. Tim ekonomi, oleh sebagian pakar politik, dianggap sangat lemah sehingga perlu diganti sesegera mungkin. Apakah publik memang menginginkan perombakan kabinet? Apakah ini merupakan tindakan wajar? Tak mudah menjawab pertanyaan itu. Dibutuhkan ahli politik yang cermat untuk mengurai persoalan yang kian menarik perhatian banyak orang itu. Dan berbincang-bincang dengan Dr Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), bukanlah sebagai sesuatu yang keliru. Sebab di samping telah melakukan penelitian politik, dia juga mengamati sepak terjang pemerintahan SBY. Apa saja komentar dia tentang reshuffel kabinet? Berikut petikan perbincangan dengan pria lulusan Ohio University itu di Wisma Tugu Jalan KH Wahid Hasyim, Menteng, belum lama ini.
Saat ini muncul ke permukaan usulan tentang reshuffle kabinet. Menurut Anda apa makna tuntutan ini?
Saya melihat ini sebagai tuntutan wajar. Sah-sah saja rakyat atau berbagai kelompok meminta beberapa menteri diganti. Ini karena perubahan ke arah yang lebih baik belum dirasakan oleh mereka yang menyuarakan tuntutan untuk reshuffle itu, terutama yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi rakyat.
Kita tahu saat ini mengemuka berbagai indikator yang membuat rakyat panik. Kita lihat rupiah melemah, dolar menguat. Lalu di mana-mana ada kelangkaan bahan bakar minyak. Di mana-mana ada antrean untuk mendapatkan minyak. Juga ada perasaan waswas dari sebagian rakyat berkaitan dengan kapan harga BBM akan dinaikkan lagi. Pemerintah memang belum mau memastikan kapan harga BBM naik. Ini menyebabkan secara mudah publik menilai semua hal terjadi karena tim ekonomi tidak bagus. Belum lagi mereka melihat asumsi-asumsi yang dipakai pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga membuat banyak orang pesimistis ekonomi kita membaik dalam waktu relatif cepat. Ya, ukuran-ukuran sederhana itu bisa dipakai untuk menilai apakah pemerintah saat ini sudah bekerja sesuai dengan harapan rakyat atau belum.
Presiden kan merupakan pilihan langsung rakyat. Maka banyak orang sangat bergantung pada dia. Memang ada juga yang bisa menerima keadaan ini dengan mengatakan beban pemerintahan baru memang begitu berat, sedangkan harapan masyarakat pada perubahan yang cepat begitu tinggi. Rakyat melihat salah satu cara yang mungkin dan bisa mewujudkan perubahan adalah dengan melakukan reshuffle. Karena hal itu merupakan hak prerogatif presiden, maka mereka mendorong agar presiden segera melakukan.
Ya, tetapi sepertinya pemerintah ragu-ragu merespons permintaan itu. Presiden mengatakan akan mengevaluasi. Namun Wakil Presiden langsung mengatakan tidak ada reshuffle. Ada apa ini?
Ya situsi semacam ini akan mengecewakan rakyat. Sekarang juga sudah banyak yang mulai mengkritik orang-orang kabinet. Ada yang menilai kabinet tidak kompak, kurang solid.
Ada fenomena menarik berkaitan dengan harga BBM. Ada sebagian menteri yang menegaskan sekarang saat subsidi sebaiknya dihapuskan. Alasannya subsidi sudah tidak mungkin lagi dilakukan dan negara benar-benar sudah tidak mampu menanggung pendanaan yang begitu besar. Dengan demikian harga BBM harus dinaikkan.
Namun ada juga yang meninginkan harga BBM jangan dinaikkan dulu. Sebaiknya dilakukan pembenahan yang menyeluruh terhadap dana kompensasi yang sudah terkumpul selama ini. Yang ini setipe dengan Presiden, yaitu melangkah dengan sangat hati-hati terhadap hal-hal yang menyangkut kehidupan rakyat kecil.
Namun ini juga dipertanyakan mengapa dana kompensasi itu lama sekali tersalurkan kepada yang berhak? Karena begitu ruwet dan lama, langsung saja kita dengan mudah berpikir ini akibat ketidaksolidan kabinet, terutama tim ekonomi. Menteri Keuangan saya nilai lambat mengeluarkan dana. Jadi tidak ada upaya tim ekonomi untuk mengambil langkah yang konkret dan berani. Saat kondisi rupiah melemah, Presiden SBY berpidato. Dan banyak yang menilai pidato tersebut berkesan 'mengambang. Lalu ada pertanyaan: mengapa mengambang?
Apa karena tim ekonomi juga 'mengambang' sehingga memberikan masukan yang mengambang kepada Presiden. Jadi sudah banyak argumen yang bisa menjadi dasar mengapa kita perlu mendesak Presiden melakukan reshuffle. Jika Presiden memang akan meng evaluasi -bukan mengganti- ya mereka yang dievaluasi harus menunjukkan bisa solid, mengambil langkah antisipatif yang cepat. Kalau masih juga ada yang menghambat, ya itu saja yang harus di-reshuffle.
Ada yang menilai tuntutan reshuffle itu lebih untuk kepentingan politik belaka. Yaitu untuk menguntungkan pihak-pihak yang selama ini belum terakomodasi oleh SBY-Kalla. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Menurut saya, ya logis saja kalau dalam reshuffle ini ada yang untung dan ugi. Rugi tentu bagi yang diganti. Untung bagi yang menggantikan. Ini tidak menjadi persoalan selama reshuffle sudah dapat dinilai masyarakat akan meningkatkan kinerja kabinet. Yang penting bagi saya adalah ada penjelasan yang lengkap dari Presiden. Mengapa memilih si A menjadi menteri untuk menggantikan menteri sebelumnya. Juga mengapa harus mempertahankan menteri B dan C, misalnya. Tugas Persiden kan menjelaskan kepada rakyat. Reshuffle memang penting, tetapi yang sebenarnya terpenting bagi rakyat adalah masalah yang saat ini dihadapi bisa terselesaikan, bisa tertanggulangi. Ini bukan latah ikut-ikutan mendesak reshuffle. Namun kalau keadaan tidak juga berubah atau sangat lambat berubah, maka rakyat mudah disulut untuk tidak mempercayai pemerintah.
Bagaimana jika reshuffle lebih mengutamakan pengakomodasian kepentingan partai politik daripada prinsip the right man on the right place. Presiden kan sangat membutuhkan dukungan partai politik?
Membagi-bagi kursi kabinet dalam rangka memperoleh dukungan partai politik adalah hal logis. Namun dalam kacamata tatanan pemerintahan yang baik, hal itu tidak benar.
Bagaimana sebaiknya?
Pemerintahan yang baik adalah yang punya kaki kuat di partai politik. Namun juga punya kompetensi terhadap bidang-bidang kehidupan masayarakat yang harus ditangani. Maka Presiden SBY harus segera mengombinasikan kekuatan politik di partai politik dan kompetensi-kompetensi itu.
Kalau hal semacam itu yang ditawarkan SBY, saya yakin pemerintahan akan semakin kuat karena selain didukung oleh partai politik juga didukung rakyat yang menghendaki perubahan, menghendaki perbaikan nasib oleh tim ekonomi yang kompeten. Saat ini memang tampak ada orang-orang yang kompeten, tetapi dia tidak mempunyai partai politik.
Namun sebetulnya di partai politik sendiri juga sudah banyak orang-orang yang kompeten di bidang-bidang tertentu. Jadi orang yang mempunyai kompetensi dengan latar belakang berbeda itu harus dipadukan oleh Presiden. Memang orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang partai politik sering dijadikan sasaran empuk untuk diganti.
Saat ini tuntutannya kan mengarah kesitu. Ganti Marie Pangestu, Sri Mulyani, Yusuf Anwar yang bukan orang-orang partai politik. Maka orang-orang yang tidak berlatar belakang partai politik dituntut untuk menunjukkan performa yang bagus. Bahkan sangat bagus, sehingga nanti partai politik tidak punya lagi legitimasi untuk merongrong posisi mereka. Namun saya juga yakin ke depan partai politik-partai politik tidak akan ngotot untuk menempatkan orang-orangnya begitu saja tanpa didasari kompetensi. Karena bila gagal, maka itu sebenarnya ikut mencoreng partai politik yang bersangkutan.
Kalaupun dirasakan perlu dilakukan reshuffle, apakah pasti tim ekonominya yang harus lebih dahulu dirombak?
Alasan tim ekonomi yang lebih dahulu diganti, ya karena bidangnya sangat memengaruhi hidup orang banyak. Masalah ekonomi, alias periuk nasi kan sensitif sekali. Namun mana yang lebih dulu ya tergantung Presiden. Kalau Presiden mau memenuhi tuntutan yang berkembang, ya dia akan mendahulukan reshuffle tim ekonomi. Presiden harus memberikan penjelasan kepada rakyat atas isu-isu terkini. Terkait reshuffle, justru Wapres yang berani berkata tegas, 'tidak ada reshuffle'''.
MASALAH reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu menyeruak ke permukaan menyusul ketaksanggupan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatasi persoalan-persoalan ekonomi. Tim ekonomi, oleh sebagian pakar politik, dianggap sangat lemah sehingga perlu diganti sesegera mungkin. Apakah publik memang menginginkan perombakan kabinet? Apakah ini merupakan tindakan wajar? Tak mudah menjawab pertanyaan itu. Dibutuhkan ahli politik yang cermat untuk mengurai persoalan yang kian menarik perhatian banyak orang itu. Dan berbincang-bincang dengan Dr Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), bukanlah sebagai sesuatu yang keliru. Sebab di samping telah melakukan penelitian politik, dia juga mengamati sepak terjang pemerintahan SBY. Apa saja komentar dia tentang reshuffel kabinet? Berikut petikan perbincangan dengan pria lulusan Ohio University itu di Wisma Tugu Jalan KH Wahid Hasyim, Menteng, belum lama ini.
Saat ini muncul ke permukaan usulan tentang reshuffle kabinet. Menurut Anda apa makna tuntutan ini?
Saya melihat ini sebagai tuntutan wajar. Sah-sah saja rakyat atau berbagai kelompok meminta beberapa menteri diganti. Ini karena perubahan ke arah yang lebih baik belum dirasakan oleh mereka yang menyuarakan tuntutan untuk reshuffle itu, terutama yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi rakyat.
Kita tahu saat ini mengemuka berbagai indikator yang membuat rakyat panik. Kita lihat rupiah melemah, dolar menguat. Lalu di mana-mana ada kelangkaan bahan bakar minyak. Di mana-mana ada antrean untuk mendapatkan minyak. Juga ada perasaan waswas dari sebagian rakyat berkaitan dengan kapan harga BBM akan dinaikkan lagi. Pemerintah memang belum mau memastikan kapan harga BBM naik. Ini menyebabkan secara mudah publik menilai semua hal terjadi karena tim ekonomi tidak bagus. Belum lagi mereka melihat asumsi-asumsi yang dipakai pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga membuat banyak orang pesimistis ekonomi kita membaik dalam waktu relatif cepat. Ya, ukuran-ukuran sederhana itu bisa dipakai untuk menilai apakah pemerintah saat ini sudah bekerja sesuai dengan harapan rakyat atau belum.
Presiden kan merupakan pilihan langsung rakyat. Maka banyak orang sangat bergantung pada dia. Memang ada juga yang bisa menerima keadaan ini dengan mengatakan beban pemerintahan baru memang begitu berat, sedangkan harapan masyarakat pada perubahan yang cepat begitu tinggi. Rakyat melihat salah satu cara yang mungkin dan bisa mewujudkan perubahan adalah dengan melakukan reshuffle. Karena hal itu merupakan hak prerogatif presiden, maka mereka mendorong agar presiden segera melakukan.
Ya, tetapi sepertinya pemerintah ragu-ragu merespons permintaan itu. Presiden mengatakan akan mengevaluasi. Namun Wakil Presiden langsung mengatakan tidak ada reshuffle. Ada apa ini?
Ya situsi semacam ini akan mengecewakan rakyat. Sekarang juga sudah banyak yang mulai mengkritik orang-orang kabinet. Ada yang menilai kabinet tidak kompak, kurang solid.
Ada fenomena menarik berkaitan dengan harga BBM. Ada sebagian menteri yang menegaskan sekarang saat subsidi sebaiknya dihapuskan. Alasannya subsidi sudah tidak mungkin lagi dilakukan dan negara benar-benar sudah tidak mampu menanggung pendanaan yang begitu besar. Dengan demikian harga BBM harus dinaikkan.
Namun ada juga yang meninginkan harga BBM jangan dinaikkan dulu. Sebaiknya dilakukan pembenahan yang menyeluruh terhadap dana kompensasi yang sudah terkumpul selama ini. Yang ini setipe dengan Presiden, yaitu melangkah dengan sangat hati-hati terhadap hal-hal yang menyangkut kehidupan rakyat kecil.
Namun ini juga dipertanyakan mengapa dana kompensasi itu lama sekali tersalurkan kepada yang berhak? Karena begitu ruwet dan lama, langsung saja kita dengan mudah berpikir ini akibat ketidaksolidan kabinet, terutama tim ekonomi. Menteri Keuangan saya nilai lambat mengeluarkan dana. Jadi tidak ada upaya tim ekonomi untuk mengambil langkah yang konkret dan berani. Saat kondisi rupiah melemah, Presiden SBY berpidato. Dan banyak yang menilai pidato tersebut berkesan 'mengambang. Lalu ada pertanyaan: mengapa mengambang?
Apa karena tim ekonomi juga 'mengambang' sehingga memberikan masukan yang mengambang kepada Presiden. Jadi sudah banyak argumen yang bisa menjadi dasar mengapa kita perlu mendesak Presiden melakukan reshuffle. Jika Presiden memang akan meng evaluasi -bukan mengganti- ya mereka yang dievaluasi harus menunjukkan bisa solid, mengambil langkah antisipatif yang cepat. Kalau masih juga ada yang menghambat, ya itu saja yang harus di-reshuffle.
Ada yang menilai tuntutan reshuffle itu lebih untuk kepentingan politik belaka. Yaitu untuk menguntungkan pihak-pihak yang selama ini belum terakomodasi oleh SBY-Kalla. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Menurut saya, ya logis saja kalau dalam reshuffle ini ada yang untung dan ugi. Rugi tentu bagi yang diganti. Untung bagi yang menggantikan. Ini tidak menjadi persoalan selama reshuffle sudah dapat dinilai masyarakat akan meningkatkan kinerja kabinet. Yang penting bagi saya adalah ada penjelasan yang lengkap dari Presiden. Mengapa memilih si A menjadi menteri untuk menggantikan menteri sebelumnya. Juga mengapa harus mempertahankan menteri B dan C, misalnya. Tugas Persiden kan menjelaskan kepada rakyat. Reshuffle memang penting, tetapi yang sebenarnya terpenting bagi rakyat adalah masalah yang saat ini dihadapi bisa terselesaikan, bisa tertanggulangi. Ini bukan latah ikut-ikutan mendesak reshuffle. Namun kalau keadaan tidak juga berubah atau sangat lambat berubah, maka rakyat mudah disulut untuk tidak mempercayai pemerintah.
Bagaimana jika reshuffle lebih mengutamakan pengakomodasian kepentingan partai politik daripada prinsip the right man on the right place. Presiden kan sangat membutuhkan dukungan partai politik?
Membagi-bagi kursi kabinet dalam rangka memperoleh dukungan partai politik adalah hal logis. Namun dalam kacamata tatanan pemerintahan yang baik, hal itu tidak benar.
Bagaimana sebaiknya?
Pemerintahan yang baik adalah yang punya kaki kuat di partai politik. Namun juga punya kompetensi terhadap bidang-bidang kehidupan masayarakat yang harus ditangani. Maka Presiden SBY harus segera mengombinasikan kekuatan politik di partai politik dan kompetensi-kompetensi itu.
Kalau hal semacam itu yang ditawarkan SBY, saya yakin pemerintahan akan semakin kuat karena selain didukung oleh partai politik juga didukung rakyat yang menghendaki perubahan, menghendaki perbaikan nasib oleh tim ekonomi yang kompeten. Saat ini memang tampak ada orang-orang yang kompeten, tetapi dia tidak mempunyai partai politik.
Namun sebetulnya di partai politik sendiri juga sudah banyak orang-orang yang kompeten di bidang-bidang tertentu. Jadi orang yang mempunyai kompetensi dengan latar belakang berbeda itu harus dipadukan oleh Presiden. Memang orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang partai politik sering dijadikan sasaran empuk untuk diganti.
Saat ini tuntutannya kan mengarah kesitu. Ganti Marie Pangestu, Sri Mulyani, Yusuf Anwar yang bukan orang-orang partai politik. Maka orang-orang yang tidak berlatar belakang partai politik dituntut untuk menunjukkan performa yang bagus. Bahkan sangat bagus, sehingga nanti partai politik tidak punya lagi legitimasi untuk merongrong posisi mereka. Namun saya juga yakin ke depan partai politik-partai politik tidak akan ngotot untuk menempatkan orang-orangnya begitu saja tanpa didasari kompetensi. Karena bila gagal, maka itu sebenarnya ikut mencoreng partai politik yang bersangkutan.
Kalaupun dirasakan perlu dilakukan reshuffle, apakah pasti tim ekonominya yang harus lebih dahulu dirombak?
Alasan tim ekonomi yang lebih dahulu diganti, ya karena bidangnya sangat memengaruhi hidup orang banyak. Masalah ekonomi, alias periuk nasi kan sensitif sekali. Namun mana yang lebih dulu ya tergantung Presiden. Kalau Presiden mau memenuhi tuntutan yang berkembang, ya dia akan mendahulukan reshuffle tim ekonomi. Presiden harus memberikan penjelasan kepada rakyat atas isu-isu terkini. Terkait reshuffle, justru Wapres yang berani berkata tegas, 'tidak ada reshuffle'''.
Apa ada persaingan antara keduanya ?
Presiden ingin memosisikan secara normatif. Ini pasti akan dinilai kurang tegas. Wapres langsung memberikan jawaban bahwa tidak akan ada reshuffle atas menteri-menteri yang diminta demonstran untuk di-reshuffle. Ada yang mengatakan bahwa ini juga tidak lepas dari gaya kepemimpinan SBY. Karena Jusuf Kalla yang berkata tegas, maka perhatian langsung mengarah ke sana.
Presiden ingin memosisikan secara normatif. Ini pasti akan dinilai kurang tegas. Wapres langsung memberikan jawaban bahwa tidak akan ada reshuffle atas menteri-menteri yang diminta demonstran untuk di-reshuffle. Ada yang mengatakan bahwa ini juga tidak lepas dari gaya kepemimpinan SBY. Karena Jusuf Kalla yang berkata tegas, maka perhatian langsung mengarah ke sana.
Saya menilai, Kalla ingin menegaskan kepada rakyat betapa kita saat ini sedang tertimpa permasalahan ekonomi yang begitu pelik, yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan oleh siapa pun menterinya. Siapa pun yang jadi menteri tentu tidak bisa me-ngalahkan keadaan yang buruk, dengan dampak kenaikan harga BBM di pasar internasional begitu tinggi, sampai di luar prediksi. Begitu juga dengan terjadinya rangkaian musibah, bencana alam yang semuanya memberi dampak pada perekonomian kita.
Agar tidak terpuruk dalam keadaan seperti ini, yang diperlukan untuk kali pertama adalah ketegasan. Jangan sampai seperti kasus Cepu, saat Pemerintah dan Exxon akan menandatangani kontrak, tiba-tiba Pertamina nylonong. Kalau begini jadinya, maka kita bicara masalah kepemimpinan di Meneg BUMN, mengapa tidak ada koordinasi yang bagus. Ini bisa jadi alasan untuk menggantinya. Walaupun Kalla sering berkata tegas, tetapi hak prerogatif tetap berada di tangan Presiden.
Namun saya menilai Kalla tetap akan mendesak agar Presiden mengakomodasi orang-orangnya (Kalla). Ini yang nampak saat penyusunan kabinet ini. Yang perlu diperhatikan SBY selaku pemilik hak prerogatif, reshuffle tidak akan menyelesaikan masalah, bila mereka yang menggantikan, tidak juga bisa memperbaiki keadaan dengan cepat.
Justru penggantian yang salah ini akan terus memperburuk citra SBY. Tadi kita terus menyoroti reshuffle di tim ekonomi. Mari kita lihat yang bukan tim ekonomi, yang mana mereka ini dari partai politik. Misalnya ada menteri yang semula dari partai politik, tapi dia akhirnya bermasalah dengan partai politiknya. Bisa jadi dia terdepak, lalu membuat partai baru. Yang seperti ini bila tidak ditunjang oleh kinerja yang baik. Maka sebaiknya ya direshuffle saja. Tidak ada untungnya SBY mempertahankan mereka yang tidak berakar di partai politik yang besar, malah dia jadi didukung partai yang gurem. Mengenai ada dugaan terjadi persaingan antara SBY dan Kalla, saya juga menilai sebagai sesuatu yang wajar. Karena ada awalnya Kalla mencalonkan diri sebagai Wapres, dan dia tidak didukung oleh partai besar. Saat itu PDI-P, Golkar dan PPP kan membuat koalisi kebangsaan. Koalisi ini kan mendukung Mega-Hasyim.
Setelah terpilih menjadi Wapres, Kalla sukses juga menguasai Golkar. Golkar perlu dikuasai karena partai itu yang menjadi penguasa di parlemen. Dengan Golkar di bawah Kalla, maka pemerintah akan aman dari gangguan parlemen. Namun hal ini juga akan semakin memperkuat posisi Kalla.
Bisa dikatakan Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maka dia akan semakin kuat memengaruhi SBY. Jadi SBY ibaratnya mendapatkan buah simalakama. Kalau tidak menguasai Golkar yang posisinya sebagai pemenang pemilu parlemen, ya salah. Namun arena Golkar kini 'dikuasai' Kalla ya, berarti membuat Kalla semakin kuat.
Lalu orang menilai keadaan ini sebagai persaingan antara SBY dan Kalla. Yang menariknya di sini, Presiden sebagai orang nomor satu, tetapi didukung partai yang bisa dibilang kecil, tetapi Wapres didukung partai terbesar di parlemen. Kalla juga telah membersihkan orang-orang Golkar lama, dan mengganti dengan orang-orang yang pro-dia. Jadi semakin kuat cengkeramannya.
Bagaimana nasib SBY selanjutnya?
Saya menilai SBY masih untung dan yang pusing justru Kalla. Kalau langkah-langkah yang diprakarsai, atau yang intensif dilakukan Kalla, seperti penyelesaian Aceh dan sebagainya berhasil, maka Kalla dan Golkar dapat nama. Namun SBY juga tetap dapat nama. Namun kalau gagal masyarakat langsung tahu kalau ini kan ulah Jusuf Kalla. Jadi citra Kalla dan Golkar juga bisa rusak. Tapi SBY belum tentu. Jadi SBY bisa mengambil keuntungan tanpa harus melakukan berbagai manuver yang penuh risiko seperti yang dilakukan Kalla. (Hartono Harimurti-35)
Agar tidak terpuruk dalam keadaan seperti ini, yang diperlukan untuk kali pertama adalah ketegasan. Jangan sampai seperti kasus Cepu, saat Pemerintah dan Exxon akan menandatangani kontrak, tiba-tiba Pertamina nylonong. Kalau begini jadinya, maka kita bicara masalah kepemimpinan di Meneg BUMN, mengapa tidak ada koordinasi yang bagus. Ini bisa jadi alasan untuk menggantinya. Walaupun Kalla sering berkata tegas, tetapi hak prerogatif tetap berada di tangan Presiden.
Namun saya menilai Kalla tetap akan mendesak agar Presiden mengakomodasi orang-orangnya (Kalla). Ini yang nampak saat penyusunan kabinet ini. Yang perlu diperhatikan SBY selaku pemilik hak prerogatif, reshuffle tidak akan menyelesaikan masalah, bila mereka yang menggantikan, tidak juga bisa memperbaiki keadaan dengan cepat.
Justru penggantian yang salah ini akan terus memperburuk citra SBY. Tadi kita terus menyoroti reshuffle di tim ekonomi. Mari kita lihat yang bukan tim ekonomi, yang mana mereka ini dari partai politik. Misalnya ada menteri yang semula dari partai politik, tapi dia akhirnya bermasalah dengan partai politiknya. Bisa jadi dia terdepak, lalu membuat partai baru. Yang seperti ini bila tidak ditunjang oleh kinerja yang baik. Maka sebaiknya ya direshuffle saja. Tidak ada untungnya SBY mempertahankan mereka yang tidak berakar di partai politik yang besar, malah dia jadi didukung partai yang gurem. Mengenai ada dugaan terjadi persaingan antara SBY dan Kalla, saya juga menilai sebagai sesuatu yang wajar. Karena ada awalnya Kalla mencalonkan diri sebagai Wapres, dan dia tidak didukung oleh partai besar. Saat itu PDI-P, Golkar dan PPP kan membuat koalisi kebangsaan. Koalisi ini kan mendukung Mega-Hasyim.
Setelah terpilih menjadi Wapres, Kalla sukses juga menguasai Golkar. Golkar perlu dikuasai karena partai itu yang menjadi penguasa di parlemen. Dengan Golkar di bawah Kalla, maka pemerintah akan aman dari gangguan parlemen. Namun hal ini juga akan semakin memperkuat posisi Kalla.
Bisa dikatakan Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maka dia akan semakin kuat memengaruhi SBY. Jadi SBY ibaratnya mendapatkan buah simalakama. Kalau tidak menguasai Golkar yang posisinya sebagai pemenang pemilu parlemen, ya salah. Namun arena Golkar kini 'dikuasai' Kalla ya, berarti membuat Kalla semakin kuat.
Lalu orang menilai keadaan ini sebagai persaingan antara SBY dan Kalla. Yang menariknya di sini, Presiden sebagai orang nomor satu, tetapi didukung partai yang bisa dibilang kecil, tetapi Wapres didukung partai terbesar di parlemen. Kalla juga telah membersihkan orang-orang Golkar lama, dan mengganti dengan orang-orang yang pro-dia. Jadi semakin kuat cengkeramannya.
Bagaimana nasib SBY selanjutnya?
Saya menilai SBY masih untung dan yang pusing justru Kalla. Kalau langkah-langkah yang diprakarsai, atau yang intensif dilakukan Kalla, seperti penyelesaian Aceh dan sebagainya berhasil, maka Kalla dan Golkar dapat nama. Namun SBY juga tetap dapat nama. Namun kalau gagal masyarakat langsung tahu kalau ini kan ulah Jusuf Kalla. Jadi citra Kalla dan Golkar juga bisa rusak. Tapi SBY belum tentu. Jadi SBY bisa mengambil keuntungan tanpa harus melakukan berbagai manuver yang penuh risiko seperti yang dilakukan Kalla. (Hartono Harimurti-35)
Dianggap Miskin Oleh Amerika Serikat
TINGGAL lama di Negeri Paman Sam membuat Saiful Mujani merasa bisa mengenal dan memperbandingkan kehidupan di Amerika Serikat (AS) dengan Tanah Air. Menurut pendapat dia, walaupun orang AS -sebagaimana orang-orang di Barat- berkesan individualistis, tetapi saat membicarakan masalah publik, ada aturan tegas dan tidak diskriminatif.
“Pelayanan publik bagus, tegas, dan tidak diskriminatif. Ini yang membuat orang-orang ‘lain’ seperti saya dan keluarga juga merasakan manfaatnya,” kata pria kelahiran Serang, Provinsi Banten, 8 Agustus 1962 ini.
Suami Baiquniah (asal Boyolali) ini menuturkan saat menempuh S2 dan S3 dia dan keluarga sempat sakit dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. “Saya hanya tunjukkan kalau saya ini mahasiswa pascasarjana di Ohio dengan beasiswa dari Fullbright sebesar 1000 dolar AS. Dengan nilai uang sebesar itu saya sebenarnya merasa hidup cukupan juga. Karena saya tetap membiasakan hidup cukup, setara di Jakarta. Namun oleh pemerintah setempat uang saya dinilai kurang, atau saya dianggap miskin. Akhirnya saya dapat pelayanan gratis. Dan tidak ada diskriminasi sama sekali. Karena prinsip mereka adalah melayani ‘manusia’ tanpa melihat siapa dia,” kata ayah Fitri Matahari, Brian Katulistiwa, dan Jagad Alit ini.
Saat menempuh kuliah S2 dan S3, Saiful merasakan bagaimana dosen-dosen setempat begitu intens membimbing mahasiswa, serta begitu kreatif mereka memacu atau memotivasi para mahasiswa. “Ini juga didukung oleh sistem pendidikan yang bagus. Perhatian AS pada pendidikan bagus sekali. Kita yang berkesempatan sekolah di sana juga sangat merasakan manfaat yang besar sekali,” kata peraih Master (1999) dan PhD (2003) Ilmu Politik dari Ohio State University ini.
Saiful berasal dari keluarga santri campuran. Dia menjalani ritual keagamaan seperti orang NU, tetapi aspirasi politiknya kepada Partai Masyumi. “Ya keluarga saya itu hampir sama dengan keluarga Cak Nur,” kata Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang ini.
Saat ditanya tentang cita-cita masa kecil, Saiful mengaku pernah ingin menjadi dokter. Namun semakin dewasa, dia merasa cita-citanya itu makin tidak kesampaian, sehingga akhirnya memilih kuliah di IAIN (sekarang jadi UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat mengambil Jurusan Ushuludin.
Mengapa akhirnya terjun ke ilmu politik? Yang jelas saat kulih S1, dirinya mempelajari hal-hal fundamental seperti filsafat dan kalam. Saat itu dirinya merasa ingin mempelajari hal yang sifatnya lebih aplikatif dan praktis, tetapi dapat memberi dampak fundamental juga. Dia pun memilih Ilmu Politik.
“Setelah dua tahun mengajar di IAIN, terbukalah kesempatan itu. Saya mendapat beasiswa Fullbright. Seperti Pak Azyumardi Azra. Lalu saya memilih menekuni ilmu politik untuk meraih S2. Lulus S2 ada beasiswa lagi untuk S3, saya pun tetap mengambil politik. Jadi sekalian saja biar lebih matang,” kata pria berkacamata ini.
Saat ditanya obsesinya, Saiful mengatakan sebagai warga negara dan umat Islam, dirinya sangat menginginkan ada kehidupan sarat nilai agamis yang substansif, tetapi tetap bertoleransi dan bersinergi dengan kemajemukan. “Saya prihatin bila Islam ditampilkan dengan wacana sempit yang akan merusak citra Islam itu sendiri serta menyebabkan ketertinggalan umat Islam di tengah-tengah kepesatan kemajuan,” kata dia.
Sesampai di Tanah Air, Saiful dan beberapa rekan-rekan alumnus AS, menggagas pendirian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bersifat independen. Ini bertujuan memberikan pencerahan dan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia dalam menyongsong era demokratisasi.
Dengan mengusung tujuan tersebut LSI mendapat simpati dan bantuan termasuk dari luar negeri. Begitu juga dengan dukungan dari pakar-pakar politik dalam dan luar negeri seperti William Liddle. Dengan tetap mengusung independensi, LSI aktif melakukan riset politik. Baik saat menjelang pemilu, pascapemilu serta perjalanan pemerintahan yang baru terpilih.
Saiful menuturkan dalam perjalanan, ada ‘orang’ LSI, yang mulai tergoda untuk bermain ke pihak tertentu, sehingga merusak independensi. Akhirnya yayasan memutuskan untuk memberhentikan ‘orang’ yang sudah identik dengan LSI itu. “Kami ingin mendidik masyarakat untuk lebih maju. Kalau sudah tidak independen atau berpihak pada kepentingan politik tertentu, maka pastilah kami akan dianggap membodohi masyarakat. Itulah pentingnya kami untuk tetap independen,” kata Saiful.
Saat ditanya mengenai hobinya, Saiful mengaku menyenangi bulutangkis. Namun karena sibuk sebagai dosen dan peneliti, maka waktu bermain bulutangkis menjadi berkurang. “Saya usahakan masih menyempatkan bulutangkis,” kata dia menutup perbincangan. (Hartono Harimurti-35)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar