Rabu, 13 Februari 2008

KOMARUDDIN HIDAYAT



Minggu, 01 Oktober 2006
Komaruddin Hidayat: Jangan Hanya Terpaku Pada Puasa


TAK banyak yang memahami peran puasa dalam kehidupan yang kian konsumtif. Sangat sedikit pula yang mengerti betapa puasa bisa menjadi pembangkit kehidupan. Hanya, sayang puasa kini seakan-akan menjadi sesuatu yang rutin. Lalu apa sebenarnya makna puasa? Apa peran puasa bagi bangsa yang terpuruk? Salah satu intelektual keagamaan bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah Prof Dr Komaruddin Hidayat.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang, ini bahkan membahas fungsi puasa secara kontekstual dengan menggunakan multidisiplin ilmu. Berikut petikan perbincangan dengan guru besar yang senantiasa tampak sumringah ini di Jakarta belum lama ini.


Di tengah-tengah kehidupan yang penuh persaingan dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, menurut Anda apa makna puasa pada era sekarang ini?


Makna puasa itu sangat luas. Puasa itu relevan pada setiap zaman. Puasa juga sudah diwajibkan oleh Allah kepada umat terdahulu. Namun sebelum membahas puasa, kita perlu membicarakan mengenai bagaimana konsep kehidupan yang mulia dulu. Selain bersandar pada literatur Islam, saya juga membaca The Web of Life-A New Scientific Outstanding of Living System karya Capra. Intinya saya hendak mengatakan sesungguhnya hidup ini adalah sebuah networking. Kita tidak hanya hidup dengan sesama, tetapi juga dengan alam sekitar. Dengan udara, tanah, air, tanaman dan cacing sekalipun. Jadi manusia harus mempunyai networking yang baik. Mereka adalah partner untuk saling menyangga satu dengan yang lain. Karena itu kita selaku masterpiece (ciptaan yang terbaik atau adikarya) dari Allah dituntut membimbing dan mengelola agar terjadi hubungan yang harmonis, yang santun untuk seluruh elemen kehidupan alam ini.
Kita ini juga hidup di bumi yang hanya sebagian kecil saja bila dibandingkan dengan jagat raya yang dihuni oleh begitu banyak galaksi, bintang-bintang, dan planet-planet. Saya ibaratkan bumi kita ini sebagai kapal yang mengapung di jagat yang begitu luas dan tak bertepi. Kita mempunyai posisi sebagai nahkoda yang harus membawa bumi ini kepada kehendak Allah. Allah memerintahkan agar kita jangan membuat kerusakan di muka bumi. Atau ibaratnya jangan sampai manusia sebagai nahkoda malah membuat lubang, sehingga kapal dan seisinya akan tenggelam atau hancur sedikit demi sedikit.
Untuk bisa seperti itu manusia diberi kemerdekaan berkreativitas. Walaupun Allah melarang kita merusak, tapi kan tidak otomatis manusia menurut begitu saja larangan Allah, karena mereka bukan robot. Kita punya kreativitas, sedangkan robot tidak. Jadi bila hidup ini kita lakukan dengan adil dan bijaksana, maka anugerah Allah itu akan melimpah. Tapi ketika ada orang yang rakus dan kikir maka anugerah yang melimpah itu jadi tidak ada atau tidak bisa kita rasakan.
Jika kita tidak bijak menjaga tubuh, misalnya, maka akan timbul kolesterol yang tinggi, akibat ada sesuatu yang melimpah tapi tidak diperlakukan bijaksana. Karena itu diperlukan sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan nafsu-nafsu yang merusak kehidupan. Nah puasa adalah salah satu cara karena salah satu makna puasa adalah menahan diri atau Imsak. Ia bisa digunakan untuk mengendalikan diri sehingga hidup senantiasa berdasarkan nurani.
Puasa bukanlah barang baru. Training umat manusia lewat puasa sudah lama diperintahkan Allah kepada umat-umat sebelum kita. Menahan makan, minum sampai dengan hubungan seks selama 14 jam itu menurut saya sebenarnya hanyalahstarting point. Kita menahan kebutuhan biologis atau jasmani ini untuk memosisikan ada kebutuhan rohani yang selama ini dikalahkan.
Puasa itu memasuki fase bernama humanisme religius. Kalau bicara mengenai humanisme, maka kita akan peduli dengan kemanusiaan, cinta kasih, dan sebagainya. Kalau bicara tentang kereligiusan, maka kita akan selalu berupaya lebih dekat dan dekat lagi kepada Allah, sehingga dapat menjadi instrumen kasih ilahi untuk semua makhluk.


Apakah puasa efektif juga untuk menghadapi berbagai problema bangsa ini? Untuk memberantas penyakit korupsi, misalnya?


Puasa itu bukan satu-satunya cara untuk menjadikan manusia baik sesuai fitrah. Puasa itu hanya salah satu instrumen. Dalam Islam banyak sekali instrumen untuk itu, seperti melalui shalat, pendidikan, dan penegakan hukum. Salah kalau kita menganggap puasa sebagai satu-satunya instrumen. Meskipun demikian puasa dan bulan Puasa memang punya posisi strategis. Misalnya seorang penegak hukum sedang berpuasa, lalu saat menangani kasus dia berlaku tidak adil apalagi memeras, maka dia hanya dapat lapar dan haus saja. Sekadar gugur kewajiban.
Sia-sia dia berpuasa kalau pada saat bersamaan dia penuh perbuatan yang tak terpuji. Suasana bulan Ramadan, dengan demikian, bisa membuat dia malu melakukan perbuatan tak terpuji.
Yang perlu diingat ganjaran atas perbuatan tercela itu tidak kelihatan saat itu juga. Karena itu harus ada penegakan hukum. Misalnya kita bicara tentang korupsi, maka korupsi itu adalah perbuatan manusia yang merusak peradaban. Yang menjadi sumber pangkal terjadi korupsi itu ada kelimpahan materi sebagai objek yang dikorupsi dan mental buruk pada diri seseorang.
Lalu apakah orang yang puasa otomatis tidak akan korupsi? Ya tidak otomatis kan? Karena itu harus ada hukum yang ditegakkan untuk menjerat sang koruptor. Penegakan hukum harus dilakukan setiap waktu termasuk pada bulan Puasa. Membangun sebuah kehidupan sosial yang baik harus lewat penegakan hukum. Kalau lewat seruan moral, karena hanya bersifat mengimbau, maka tidak kuat. Memang ada sebagian orang yang mudah tersentuh lalu bertobat, tetapi lebih banyak lagi yang ndableg. Jadi biarlah hukum yang menjerat mereka.
Puasa tetap penting. Ia baik bagi mental untuk menumbuhkan rasa kepedulian sosial. Juga baik bagi kesehatan kita. Jangan mudah mengobral janji dengan puasa. Misalnya dengan puasa pemerintah berharap Indonesia bebas korupsi, ya it's not enough. 'Lembaga' puasa dan 'lembaga' shalat hanya bersifat mengimbau dan training.


Dengan puasa yang hanya selama sebulan, kita diharapkan mampu menjaga batin dari perbuatan tak terpuji selama 11 bulan. Apakah kita mampu?


Ya mampu, tetapi semua itu tergantung orangnya. Dalam puasa, kita mencoba melepaskan diri dari belenggu kenikmatan yang bersifat ragawi atau fisik. Kita merasa puasa begitu heboh, karena pemuasan untuk kebutuhan ragawi dijungkirbalikkan waktunya. Kebutuhan ragawi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin lepas dari makhluk bernama manusia. Namun kebutuhan ini cenderung mendorong kepada keinginan memenuhi tanpa batas (karena kita punya hawa nafsu), sehingga bisa menimbulkan sifat serakah. Lalu kita pun ingin menyerobot hak orang lain dan akhirnya melakukan korupsi.
Kita gembleng diri kita lewat puasa yang dirasa heboh itu. Kita batasi makan dan minum dan berharap sadar bahwa hidup ini tidak sekadar untuk keperluan pemuasan ragawi. Kalau kita terjebak pada urusan pemuasan ragawi, lalu apa beda kita dari hewan? Lewat puasa ini kita melakukan olahnurani. Kalau kita sadar pentingnya hati nurani bagi kehidupan yang lebih bernilai, maka insya Allah kita akan susah payah menjaganya pada 11 bulan berikutnya.
Karena itu, dalam Alquran Allah mengatakan, "Sungguh puasa itu sangat baik bagimu." Hanya, ayat selanjutnya yang berbunyi, "In kuntum ta'lamuun (Kalau kamu melakukannya dengan ilmu)" atau mampu menghayati dengan benar, harus diperhatikan juga. Itu karena kita juga aktif menggali hal-hal yang bersifat nonfisik.
Ayat berikutnya adalah la'alakum tasykuruun (semoga engkau bisa mensyukuri). Kita bersyukur karena kita di-training agar nurani atau yang bersifat nonfisik menjadi lebih peka. Saya berandai-andai bila ada politikus yang mengajukan usulan agar pemerintah melakukan training rohani bagi bangsa ini agar terbebas dari sifat-sifat buruk, berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan? Lewat puasa yang benar, training semacam itu tidak perlu dilakukan.


Lalu, apa yang terjadi jika puasa pun akhirnya sekadar jadi sesuatu yang rutin?


Hidup ini dapat saya katakan kadang rutin kadang tidak. Sebab kalau hidup ini tidak ada pakem yang bersifat rutin akan kacau. Kan ada jam tidur, jam makan, jam kerja, dan sebagainya. Tuhan, kita tahu, memang memberikan aturan-aturan yang dinamai sebagai takdir. Kalau kita tidak makan pasti lapar dan haus hilang kalau kita minum.
Tetapi di atas ketentuan yang rutin itu, kita hendaknya melakukan inovasi-inovasi dan kreativitas sebagai makhluk yang diberi kemerdekaan. Kalau hidup itu hanya rutin belaka maka akan mematikan kreativitas, karena menjadikan diri kita seolah seperti mesin. Dengan puasa maka rutinitas kita berhentikan sebentar. Kita jungkir balikkan waktu makan dan minum kita, walau di sisi lain aktivitas kerja kita normal. Ini akan terasa ada sesuatu yang berbeda. Akan terasa ada perjuangan yang berat bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Nah di balik ini semua tentu ada hikmah yang bisa diambil. Jadi rugi bagi kita yang sekadar menjalankan ritual rutin biasa saja, tanpa mencari apa di balik ini semua. Kita tentu khawatir jika puasa jadi otomatis. Ia akan kita lakukan sebagaimana kita memperlakukan mesin yang di-overhaul setelah menempuh perjalanan sekian kilometer. Ini akan mengakibatkan puasa yang kita lakukan menjadi kehilangan roh. Puasa ya kita lakukan, tetapi perbuatan tercela juga bersamaan dilakukan. Dampak buruknya bagi umat Islam ya segala sesuatunya jadi tidak total. Tidak ada roh atau semangat bagi ibadah yang dilakukan.


Apa sesungguhnya hadiah terindah bagi manusia yang melakukan puasa?


Banyak sekali ganjaran atau hadiah yang diberikan Allah kepada hamba yang berpuasa. Tapi yang perlu diingat ganjaran yang berlimpah ini juga bagi ibadah-ibadah lain seperti shalat dan haji. Setiap perintah selalu juga diikuti hadiah, ganjaran, atau keuntungan yang akan didapat mereka yang melaksanakannya. Ini karena Allah Maha Kasih Sayang.
Karena itu kita jangan hanya terpaku pada ibadah puasa. Semua mulia dan penuh kebajikan bagi orang-orang yang menjalankan dengan benar. Kita akan merasa bulan suci ini penuh keindahan kalau tidak terjebak rutinitas seperti hari-hari biasa. Misalnya di tengah kesibukan bekerja, kita masih menyempatkan membaca Alquran, ikut pengajian, mendengarkan ceramah agama, dan gemar bersedekah, maka kita pasti akan merasakan hal indah. Kita akan merasakan getaran-getaran nurani.
Kita akan merasakan begitu damai dan nikmat beribadah pada bulan suci ini kalau sungguh-sungguh meningkatkan ibadah. Harus memiliki kegiatan peningkatan ibadah yang mendobrak rutinitas. Kita akan merasakan kebahagaian, kedamaian, dan nikmat luar biasa. Ini sulit dituliskan dengan kata-kata.
Kalau dilihat dari historisnya, maka bulan ini merupakan bulan turunnya Alquran. Petunjuk bagi seluruh umat manusia, hadiah yang terbaik bagi umat manusia. Nah sekarang bagaimana Alquran itu dapat nuzul di dalam hati kita. Transformasi yang seperti ini sungguh-sungguh luar biasa. (Hartono Harimurti-35)



Suka Membahagiakan Orang Lain


BERPUASA pada masa kanak-kanak bagi Komaruddin Hidayat mempunyai kenangan sangat berarti. Secara intensif Komaruddin kecil diajak orang tuanya ke masjid pada bulan suci. Di masjid terdapat sekumpulan teman serta berbagai kegiatan yang sangat menyenangkan. "Saya dan teman-teman akhirnya menjadikan masjid sebagai tempat merencanakan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengisi puasa. Saat itu saya merasa masjid kampung seperti memiliki magnet," kenang Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang ini.
Dari kumpul-kumpul bersama teman di masjid, lalu muncul ide buka puasa bersama dengan cara membawa makanan dari rumah masing-masing dan donatur. Acara itu menjadi selingan buka bersama keluarga di rumah. Lalu mereka juga merencanakan kegiatan pawai obor, membangunkan orang sahur, dan sebagainya.
Dari pengalaman selama kanak-kanak dan remaja di Pabelan, Magelang, Komaruddin mengimbau agar orang tua tidak segan-segan mengajak anak ke masjid sejak usia dini. "Kalau pas di masjid keluar nakalnya ya wajar saja, wong namanya anak-anak," kata pria kelahiran Pabelan, Muntilan, Magelang, 18 Oktober 1953 ini.
Komaruddin juga merasakan suasana Ramadan yang bahagia saat dia menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan. Waktu itu KH Hamam Dja'far sering mengadakan lomba-lomba bagi santri. Lomba itu mulai dari yang berhubungan dengan mata pelajaran sampai pidato Ramadan, baca puisi dan sebagainya. "Yang menarik semuanya dapat hadiah, cuma beda kualitas. Ha... ha...ha.... Tapi yang penting Ramadan diisi oleh suasana yang giat, akrab, kompetitif, namun semuanya positif. Ini yang berkesan bagi saya sampai saat ini," kata putra ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Imam Hidayat dan Zubadiah ini.
Sejak kecil dia bercita-cita menjadi pendidik. Cita-cita tersebut terilhami oleh Kiai Hamam Dja'far yang menurutnya pandai meramu metode pengajaran di Ponpes Pabelan sehingga bisa menghadirkan pendidikan modern ala pesantren desa. "Saya baru tahu di Ponpes Pabelan ada metode modern setelah saya sering membaca buku tentang pendidikan modern," kata suami Ait Mahdali ini.
Menurut dia yang diajarkan Kiai Hamam adalah sesuatu yang holistik, tidak dikotomis. Dengan demikian tidak ada yang namanya pelajaran agama 50 persen dan pengetahuan umum 50 persen. Yang ada 100 persen agama, dan 100 persen ilmu pengetahuan. "Jadi kami dikenalkan bahwa prinsip Islam itu mengikuti hukum kebaikan yang bersifat universal. Kami juga diajari berbagai keahlian seperti menyampaikan pendapat di muka umum, pidato, dan sebagainya. Kami dibekali keterampilan, lifeskill," kata ayah Zulfa Indira Wahyuni dan Dian Sukma Agustin ini.
Berbekal lifeskill dia menjadi berani merantau dari Magelang menuju Ciputat, Tangerang untuk menuntut ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah. "Dengan lifeskill itu saya sadar bahwa bahaya bagi kita bila terjebak atau terbelenggu dalam comfort zone atau zona nyaman saja. Akibatnya kita tidak berani bereksplorasi, tidak berani merantau," kata Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini.
Di kampus tersebut dia kuliah di Fakultas Adab selama setahun. Kemudian pindah ke Fakultas Tarbiyah sampai Sarjana Muda. Namun pada akhirnya gelar Sarjana diraih dari Fakultas Ushuluddin pada 1981. Kemudian dia mendapat bea siswa ke Turki mengambil master di Middle East Technical University, Ankara dan meraih PhD pada 1990.
Komaruddin menyukai berprofesi sebagai pendidik, karena merasa bahagia bila bisa memberikan pencerahan atau memintarkan orang lain. "Kita akan bahagia kalau mampu membagi kebahagiaan kepada orang lain,," kata mantan Direktur Yayasan Paramadina yang kini menjadi Direktur Eksekutif Pendidikan Madania ini. (Hartono Harimurti-35)

Tidak ada komentar: