Rabu, 13 Februari 2008

AYU UTAMI



Minggu, 05 Februari 2006
Ayu Utami: Pengaturan Pornografi Harus Proporsional

SAAT novel Saman mendapatkan Hadiah Pertama Lomba Tulis Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan kemudian terbit pada 1998, Ayu Utami dianggap telah mengeksploitasi seks. Banyak yang menganggap karyanya sebagai pornografi yang dibalut kesusastraan. Banyak pula yang menganggap Saman sebagai teks yang menyodorkan liberalisasi dan pembelaan atas keterkungkungan perempuan dalam memperbincangkan seks. Ayu bergeming. Dia kemudian menghasilkan novel Larung dan prosa Si Parasit Lajang.
Malah di tengah kritik dan pujian, tiba-tiba Kerajaan Belanda memberi Prince Claus Award pada novel Saman. Ini menjadikan Ayu sebagai pioner teks-teks yang menyinggung seks dengan cara yang indah dan terbuka. Lalu, apa komentar dia tentang pornografi dan pornoaksi? Apakah dia menentang Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi? Berikut petikan perbincangan dengan dia di Kafe Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat lalu.


Mengapa masalah RUU Pornografi dan Pornoaksi menjadi polemik yang sedemikian seru di Tanah Air kita?


Untuk menjawab hal itu, maka pertanyaan pertama saya adalah, apakah persoalan pornografi dan pornoaksi itu sudah sedemikian merusak bangsa kita? Sebenarnya dengan adanya RUU yang represif, itu menunjukkan ada ketakutan sedemikian besar terhadap sesuatu yang dirumuskan sebagai pronografi dan pornoaksi. Jadi, ada baiknya sebelum terlalu jauh, kita pertanyakan dulu mengapa sampai harus dibuat RUU seperti itu. Kontroversi berikutnya: kita akan hidup dalam bahaya bahaya, karena kehidupan privat seseorang akan direpresi.
Ini bisa terlihat dari pasal-pasalnya. Misalnya tentang berciuman di muka umum. Sebetulnya sampai sejauh ini siapa yang mau terang-terangan berciuman di muka umum? Kalau mengenai pemerkosaan, saya setuju sekali, karena banyak kejadiannya. Dan itu bisa menimbulkan berbagai trauma bagi korbannya. Terus mengenai goyang pantat, itu ada berapa kasus? Kalau misalnya ini dilakukan di wilayah ''abu-abu'' seperti taman, kan ada maksud agar tidak terlihat dan mengganggu banyak orang? Jadi, ini bisa saja masuk wilayah privat seseorang. Masa hal seperti itu dianggap sebuah perbuatan kriminal? Nah, dengan RUU ini semuanya jadi dikriminalkan.
Saya melihat RUU ini akan mengaburkan batasan ruang publik dan privat. Selain itu sifatnya juga sangat bergantung pada tafsir. Hukum yang menimbulkan banyak tafsir tentu berbahaya. Coba kita ingat UU Subversif saat Orde Baru. Di situ banyak pasal karet yang bisa ditafsirkan penguasa, sehingga bisa digunakan dengan mudah untuk menjaring dan menekan orang-orang yang tidak disukai pemerintah.
Lalu tentang eksploitasi. Apa batasannya? Pornografi itu, konon adalah segala sesuatu yang mengeksploitasi bagian tubuh sensual wanita. Bagian tubuh yang sensual itu batasannya yang mana? Jauh lebih masuk akal kalau disebutkan saja. Misalnya tidak boleh kelihatan puting dan bulu kemaluannya. Jadi, yang pasti-pasti sajalah. Selain itu, dasar pemikiran atau roh UU itu juga absurd, karena membuat banyak hal menjadi porno.
Misalnya tidak lagi ada pemisahan antara yang seksual, erotis, dan porno. Menurut saya seksualitas itu bagian yang inheren dalam diri manusia. Secara normal kita semua punya dorongan seks. Itu milik atau hak asasi individu. Nah di RUU yang didesak disahkan itu tidak ada pemikiran seperti ini. Yang ada cuma ketakutan sehingga membuat semuanya jadi porno.
Yang menarik, di pasal pengecualian. Benda-benda pornografi diperbolehkan untuk penyembuhan, ilmu pengetahuan, olahraga, dan sebagainya. Kok hal-hal semacam itu didefinisikan sebagai porno. Masa orang memakai baju renang dianggap porno.


Jadi hakikat pornografi dan pornoaksi itu seperti apa?


Pornografi, ya karena ada kata grafi berarti tulisan, guratan yang porno. Yang menulis ya berniat untuk itu. Tapi ini juga diakui sebagai pembangkit fantasi kita, sebagaimana yang sudah saya katakan tadi. Nah sekarang tentang pornoaksi. Saya baru dengar kata pornoaksi ya di negeri ini. Di negara lain tidak ada kata-kata semacam itu. Sebenarnya pornoaksi itu dibentuk dari pornografi. Namun setelah dirasa pornografi itu tidak bisa menjerat seseorang, atau hal-hal yang tidak bersifat tulisan, guratan, dan cetakan, maka dibentuklah istilah pornoaksi. Seharusnya sudah cukup dengan pasal melanggar kesusilaan, tanpa harus pornoaksi. Ya kalau memakai bikini jalan-jalan di mal atau masuk tempat ibadah kan tidak pantas dan itu bisa dianggap melanggar susila. Menurut saya pornoaksi adalah sesuatu yang mengada-ada.

Bagaimana sebaiknya kita berelasi dengan sesuatu yang dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi itu?


UU ini yang penting harus melindungi pihak yang lemah, bukan melarang erotisme atau fantasi seseorang. Pihak yang lemah itu adalah anak-anak di bawah umur,
perempuan, atau mereka yang bergolongan ekonomi lemah dan rentan dieksploitasi secara seksual. Saya setuju pornografi harus diatur, tetapi pengaturannya harus proporsional.
Mari kita berdiskusi tentang blue film. Film seperti itu bisa bermanfaat bila ditonton oleh orang yang tepat. Saya ingat guru agama saya saat SMP dulu. Dia tanya saya dan teman-teman mengenai film porno. Langsung saja saya dan teman-teman cenderung berpikir puritan, lalu bilang, ''Itu nggak bener, Pak.''
Eh, sang guru agama malah menjelaskan sisi positif dan negatifnya. Lalu kami sadar kalau sebenarnya segala sesuatu itu harus dipandang secara menyeluruh seperti itu. Saya katakan film porno ada manfaatnya untuk membangkitkan fantasi atau edukasi sehingga keluarga bisa harmonis. Namun bila pembuatan film porno itu ada unsur penipuan, mengeksploitasi pemain, atau memainkan anak-anak di bawah umur, serta penyebarannya tidak terkontrol, sehingga bisa dibeli dan ditonton dengan mudah oleh anak-anak, itu baru masalah serius. Jadi, harus dibuat aturan yang tegas untuk menghentikan semua kecerobohan ini.


Anda melihat penanganan pornografi di negara lain lebih baik?


Saya kira kita harus berelasi dengan pornografi secara dewasa. Contohnya di negara-negara Barat atau negara maju di Asia seperti Jepang. Hal-hal yang bersifat pornografi tampak jelas aturannya. bahkan ada sex shop segala.. Mari kita bertanya, apakah hal-hal semacam itu menjadikan mereka manusia-manusia bejat? Apakah angka perkosaan menjadi sangat tinggi? Ternyata tidak juga.
Yang menarik, masyarakat Jepang itu ternyata menyukai komik seks yang menurut saya kejam dan kasar. Tapi mereka bisa menjadikan gambar yang berlendir-lendir dan berdarah-darah itu hanya sebagai batasan fantasi yang mereka sukai. Jadi mereka tetap santun, tetap progresif, dan pintar, serta tidak mudah menyerah menghadapi keadaan.
Kita itu ternyata juga punya banyak dosa. Tidak lebih suci daripada Amerika dan Jepang yang sering kita maki-maki. Ya, di luar negeri pornografi dijual di sex shop, tetapi tidak semua orang bisa belanja di sex shop. Kalau belum cukup umur, ya ditolak mentah-mentah oleh si pemilik toko. Di sana penegakkan hukum tegas. Bila ketahuan dan diusut, si pemilik toko yang teledor menjual kepada yang tidak berhak, bisa terkena hukuman. Nah coba dibandingkan dengan kondisi masyarakat kita. Makin dilarang kok makin nekad ya? Tabloid yang menampilkan gambar sangat seronok, sangat vulgar dijual bebas di jalan-jalan. Penjajanya juga tidak sembunyi-sembunyi lagi. Langsung ditawarkan ke mobil-mobil yang lewat. Lalu apa penjual kita itu bisa menolak kalau ada anak-anak membeli tabloid itu? Apalagi harganya juga cukup terjangkau.
Juga penjualan VCD porno. Bila kita lihat di Glodok, di penjuru Jakarta dan kota-kota kecil lain, VCD semacam itu dijual terang-terangan. Ada yang transaksi pembeliannya harus dengan bisik-bisik dulu. Tapi pada prinsipnya VCD itru sangat rentan jatuh ke tangan yang belum berhak. Ini yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu.
Mereka yang belum berhak, atau mereka yang sudah berhak tetapi tidak bersikap dewasa atau proporsional, berpotensi melakukan perbuatan kriminal, seperti pemerkosaan dan sebagainya. Ini harus dihukum berat agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Jadi intinya jangan hukum kesempatan untuk berfantasi sesuai dengan naluri seks seseorang, tetapi hukumlah perbuatan kriminalnya.

Saat ini begitu merebak aksi menentang penerbitan Playboy versi Indonesia. Padahal situs porno di internet sudah sekian lama ada di sekitar kita. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?


Orang Indonesia itu selalu ingin show up. Kalau protes, mereka itu ingin memprotes sesuatu yang bergengsi. Playboy kan sudah mendunia, sudah menjadi raja istilahnya. Yang kedua orang kita itu sangat anti-Barat. Dunia Barat itu dianggap biang kerusakan nilai-nilai budaya kita. Ada semacam xenophobia. Tapi coba kita kembali melihat, apakah tabloid vulgar lokal itu tidak merusak moral bangsa kita juga? Ayo kalau dilarang, harus tegas larang semuanya. Namun saya yakin banyak yang tidak meginginkan hal itu. Cara yang baik ya dibuat aturan peredaran dan penjualannya seperti di dunia Barat. Marilah kita mulai berpikir secara dewasa.


Bagaimana komentar Anda jika UU ini dimaksudkan untuk menjaga harkat martabat kaum perempuan?


Menurut saya orang yang mau menutup tubuh perempuan secara utuh dan orang yang mau menelanjangi perempuan punya sebuah kesamaan. Yaitu mereka melihat perempuan sebagai objek erotisme belaka. Mereka tidak mampu melihat perempuan secara wajar. Padahal banyak hal ada pada diri perempuan. Tidak sekadar erotisme saja. Misalnya saat meewawancarai saya, dalam pikiran Anda hanya muncul keerotisan, bisa jadi Anda malah ngelantur dan tidak fokus. Namun karena Anda melihat dari sisi yang lain -mungkin karena Anda menganggap saya sebagai pekerja seni, wartawan, atau mitra kerja yang produktif- maka tidak mungkin keerotisan saya membuat Anda sampai terangsang.
Jadi, jangan kita mudah terjebak terhadap dalih-dalih yang sok melindungi harkat dan martabat, tetapi sesunggunya memenjarakan perempuan sebagai objek erotisme belaka. Ini disebabkan produk adat maupun agama itu banyak ditafsirkan secara patriarkat. Jadi, segalanya dilihat melulu dari kacamata laki-laki saja. Coba segalanya dilihat secara setara, maka isu RUU untuk menyelamatkan harkat dan martabat perempuan sudah tidak perlu muncul lagi. Saya lihat di Barat, sudah ada persamaan laki-laki dan perempuan. Di Asia sampai saat ini masih tetap saja segalanya dilihat dari kacamata laki-laki. Juga dalam persoalan pornografi. Ini tidak adil! (Hartono Harimurti-35)



Mantan Model Yang Selalu Memberontak

SIAPA
yang tak mengenal penulis novel Saman yang telah dicetak puluhan kali itu? Ya, siapa yang tak mengenal Ayu Utami? Yang jelas, perjalanan perempuan bernama lengkap Justina Ayu Utami ini, sangat beragam, tetapi tidak lepas dari seni. Saat di SMP dan SMA, dia gemar melukis. Dari melukis, dengan menerima order dari rekan atau dari famili, dia bisa mendapatkan uang sendiri. Inilah yang menyebabkan dia ingin mendaftar ke Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Namun keinginan tersebut dilarang oleh orang tua. Anehnya, Ayu yang biasa bersikap keras alias memberontak mengalah dan memilih kuliah di Fakultas Sastra UI, Jurusan Sastra Rusia.
Saat kuliah dia -yang saat remaja mengaku tomboi- pernah menyelami dunia model setelah menjadi Finalis Wajah Femina 1990. Namun dia merasa profesi itu tidak sesuai dengan sifatnya.
Ayu sempat pula menjadi wartawati di berbagai media massa. Hal itu diawali dari kemenangan cerpennya di Majalah Humor. Dari menjadi reporter di Majalah Humor Ayu kemudian bekerja di Majalah Matra. Lalu pindah ke Forum Keadilan. Setelah itu pindah lagi ke Majalah D&R. Pendeknya, dia berkali-kali berpindah tempat kerja. Itu akibat dari sifat suka bertanya-tanya dan selalu gelisah mencari jawaban. Setelah berulang-ulang pindah, dia terdampar di Komunitas Utan Kayu. Di komunitas yang antara lain bercokol nama-nama besar semacam Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge ini, dia antara lain menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Di komunitas ini pula dia melahirkan novel Saman yang dianggap berani mengungkapkan sisi gelap-terang seks itu.
Menurut perempuan kelahiran Bogor 21 November 1968 ini, bagi yang sudah membaca novel Saman, mereka akan melihat penggambaran keerotisan khusus yang berbeda dari keerotisan umum. ''Di novel itu, yang ada adalah sepasang kekasih yang berfantasi dan masing-masing menceritakan gairahnya. Saya tidak menampilkan seks sebagai cerita tentang seks, tetapi seks sebagai problem bagi perempuan. Karena represi terhadap perempuan begitu berat, maka ia harus dipecahkan. Itu wacana yang saya berikan,'' paparnya.
Walaupun bakat menulis baru terasah saat berprofesi sebagai wartawan, tetapi sejak kecil dia sudah sering berimajinasi dan menceritakan imajinasi itu kepada orang lain. ''Waktu kecil saya suka membaca Tintin dan Lima Sekawan. Itu kan cerita petualangan. Sering sesudah itu saya lalu berimajinasi dan menceritakannya kepada kakak saya. Begitu juga sebaliknya.''

Terganggu
Hidup yang demikian itu memang tampak indah. Tidak ada gangguankah hidup peremmpuan energik ini? Ternyata ada. Saat bertemu dengan anak laki-laki idiot di sebuah gereja, misalnya pikirannya terteror. Dia merasa kasihan dan ingin menolong anak itu. '''Saya menyadari betapa saya tidak bisa hidup bersamanya. Walaupun idiot, secara fisiologis, dia adalah makhluk dewasa, sehingga tertarik secara seksual kepada saya. Karena tidak bisa bersikap proporsional akhirnya saya putuskan menjauhi dia,'' kata putri pasangan YH Sutaryo dan Suhartinah ini.
Yang juga mengganggu dirinya adalah saat bertemu dengan perempuan pengemis yang begitu buruk rupa. Dia berpikir mengapa kehidupan itu begitu tidak adil. Mengapa ada orang yang mengalami penderitaan sampai berlipat ganda? ''Saya masih mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak adil ini. Kalau saya bisa berdamai, berarti saya sudah mati,'' kata bungsu lima bersaudara ini.
Berkaitan dengan akan disahkannya RUU Pornografi dan Pornoaksi, Ayu akan menyikapinya dengan pendekatan budaya. ''Saya sudah berencana membuat naskah drama yang membayangkan bagaimana bila Rancangan Undang-undang itu disahkan menjadi Undang-undang dan diterapkan.''
Judulnya? ''Aduh belum saya temukan,'' kata dia.
Tak perlu kaget melihat pemberontakan penganut Katolik taat ini. Di rumah pun dia memberontak. Dia, misalnya, njangkar saat memanggil kakak-kakaknya. ''Saya hanya mau panggil Mbak kalau ada orang tua,'' jelas perempuan Jawa yang bergaul siapa pun dengan cara-cara yang sangat ''Jakarta'' ini.
''Saya tak mau terikat adat,'' tutur Ayu. Ya, Ayu tampaknya percaya pada premis Albert Camus, ''Aku memberontak, karena itu aku ada.'' Ya, Ayu memberontak, karena itu ia ada dan berguna bagi sesama. (Hartono Harimurti-35)

Tidak ada komentar: