Rabu, 13 Februari 2008

EFFENDI GAZALI



Minggu, 21 Agustus 2005
Effendi Gazali: Aceh dan Proyek Para Saudagar Itu

KESEPAKATAN
perdamaian RI-GAM di Helsinki ternyata masih membuahkan banyak persoalan. Ada yang menganggap juri runding Indonesia sama sekali tak mengerti konsekuensi politis yang bakal disandang oleh bangsa ini. Ada yang menganggap sang juru runding tak paham pada "komunikasi politik". Benarkah? Berikut perbincangan dengan pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendi Gazali MPS ID PhD di Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Salemba, belum lama ini.


Kesepakatan Damai antara Pemerintah RI dan GAM baru saja ditandatangani di Helsinki. Setelah itu muncul berbagai kerisauan dan pesimistis. Bagaimana anda melihat hal ini dari kacamata komunikasi politik?


Komunikasi politik itu lebih "seru" bila untuk melihat proses politik. Di situlah permulaan terjadi sebuah produk atau policy pemerintah. Karena berbicara masalah komunikasi politik, maka kita lihat siapa-siapa saja yang menjadi aktor. Siapa yang menjadi aktor utama serta siapa yang menjadi peran pembantu. Berbicara mengenai aktor dalam kesepakatan damai di Helsinki ini, saya melihat ada kerancuan.
Sebetulnya itu perundingan antara sesama orang Indonesia atau antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah GAM. Kalau sesama orang Indonesia mengapa harus dilakukan di luar negeri, terlebih lagi di sebuah negara Eropa, Finlandia. Mengapa tidak di negara anggota ASEAN saja? Atau mengapa harus di luar wilayah Indonesia kalau ini masalah yang diklaim pemerintah RI sebagai masalah lokal.
Menjelang pertemuan di Helsinki 15 Agustus lalu, lalu muncul AMM (Aceh Monitoring Mission). AMM ini dengan kewenangan-kewenangannya nanti akan menjadi aktor utama. Lalu ada juga aktor yang kehilangan panggung. Yaitu anggota DPR. Menurut aturan perundangan apa yang dilakukan pemerintah RI di Helsinki harus sepersetujuan DPR.
Kemudian pemerintah mengeluarkan dalil lain, yaitu ini bukan peperangan antarnegara.

Jadi tidak perlu persetujuan DPR. Aktor yang kehilangan panggung mengajukan berbagai opini ke publik. Publik akhirnya terhentak, lalu akhirnya muncul berbagai kekhawatiran di mata publik yang kini aktif memperhatikan "komunikasi politik" yang dilakukan aktor-aktor itu.


Menurut Anda apakah komunikasi politik yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa dikatakan gagal?


Kalau kita lihat dari proses yang dilakukan pemerintah, saya pribadi mengatakan itu adalah suatu yang kontraproduktif. Memang ada komitmen antara pemerintah dengan GAM, bahwa butir-butir yang melandasi kesepakatan damai tersebut tidak boleh dipublikasikan, sebelum ditandatangani. Kalau kedua-duanya memegang komitmen tersebut ya tidak masalah.
Namun kalau dilihat dari proses komunikasi politik sesuatu yang sangat penting dan berdampak besar bagi bangsa ini, kok ditutup-tutupi, ya tetap kita anggap cacat atau kontraproduktif.
Pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan. Mengapa harus tertutup? Apa kalau terbuka akan menunjukkan begitu kelemahan pemerintah sehingga mendapat reaksi dari banyak pihak? Namun sekarang sudah ditandatangani. Karena itu boleh dibuka point-point-nya itu. Akhirnya kita mengetahui banyak pihak yang kecewa. Karena ternyata hasil dari proses itu tidak seperti yang kita bayangkan.


Seperti apa contohnya?


Ya seperti kewenangan memiliki bendera sendiri. Itu tidak ditunjang oleh keterangan lain yang rinci. Misalnya harus dikibarkan lebih rendah dari Sang Merah Putih. Karena tidak ada aturan penunjang yang rinci, maka ini akan menimbulkan berbagai interpretasi. Coba bayangkan misalnya di Aceh nanti ada dua bendera yang berkibar dengan sama tinggi.

Apa kesan orang awam? Ada bendera dua negara yang berkibar. Lalu timbul pertanyaan lagi, kok dua negara? Katanya perundingan antarsesama warga bangsa. Kok begini jadinya?
Lagipula bendera yang dikibarkan itu kan bendera Gerakan Aceh 'Merdeka'. Lain lho kesannya, kalau bendera yang dikibarkan itu bendera budaya Aceh. Selain itu, perbedaan interpretasi tersebut juga berpotensi menyulut konflik. Karena di sisi lain ada pihak yang euforia lalu berusaha menafsirkan sebebas-bebasnya sesuai dengan kepentingannya.
Lalu di sisi lain ada kekhawatiran, kecemasan, yang mendorong untuk melakukan pembatasan-pembatasan. Contoh lain yang dapat menimbulkan persoalan dari komunikasi politik adalah, semua pejabat yang kan ditempatkan di Aceh, nanti harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh, begitu sebutannya bukan Gubernur seperti provinsi lain. Lha, Kapolda atau Kajati dan sebagainya itu kan wakil pemerintah pusat.
Pemerintah pusat tentu punya pertimbangan tersendiri untuk menempatkan pejabatnya di suatu daerah. Tentunya dalam scope untuk kepentingan nasional. Mengapa harus dikalahkan kepentingan yang begitu lokal sifatnya. Ini kan menunjukkan bahwa pemerintah pusat akhirnya harus mengikuti atau tunduk pada kehendak Kepala Pemerintah Aceh.
Begitu juga dengan apa yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang Aceh harus sepersetujuan legislatif atau DPRD Aceh. Mengapa NKRI tidak ditungkan secara eksplisit. Begitu juga UUD 1945. Okelah mengenai hasil dari sebuah proses politik. Ini masih bisa diperdebatkan. Mungkin saja nantinya wakil-wakil pemerintah bisa menggiring wakil-wakil GAM untuk menginterpretasikan ke sebuah pemahaman, yang tentunya tetap aman untuk konsep NKRI.
Namun yang saya sayangkan hal-hal seperti ini kan bisa dikomunikasikan terlebih dahulu. Mengapa pemerintah malah memilih jalan yang diam-diam? Sekarang sudah terbuka seperti ini. Banyak di antara kita yang kecewa. Lalu siapa yang berhak untuk menjelaskan masalah bendera? Orang-orang pemerintah memilih diam, Jusuf Kalla juga belum kita dengar komentarnya. SBY dalam pidatonyajuga tidak ngomong masalah bendera. Juga keharusan untuk mengonsultasikan Kapolda atau Kajati kepada Kepala Daerah Aceh, juga belum ada yang menjelaskan ke publik mengapa pemerintah menempuh langkah yang demikian.


Lalu bagaimana nasib butir-butir kesepakatan itu? Apakah kita harus menerima begitu saja hal-hal yang berpotensi menimbulkan problem?


Ini semua tergantung DPR. Aktor yang kehilangan panggung ini harus kembali ke panggung. DPR harus berani meminta klarifikasi pemerintah dan menggelar sidang pleno untuk itu. Sampai sekarang kita belum dengar ada rencana itu. Kita berharap saja DPR segera membuat gebrakan mumpung "masih anget-anget" masalah in
Mengapa pemerintah "nekat" memilih cara yang tertutup? Kan kini digembar-gemborkan soal transparansi. Mengapa pemerintah begitu lunak sehingga terjadi butir-butir kesepakatan yang berpotensi menimbulkan problem? Alasannya bisa seribu satu macam. Yang pertama, kalau dari komunikasi politik, terkait dengan ada tarik-menarik di DPR antara pihak yang pro maupun yang kontra pemerintah terkait policy tentang Aceh, maka saya menilai pemerintah itu terlalu confidence. Pemerintah begitu percaya diri dan berpikir tidak ada yang bisa mengganjal rencananya, berdasarkan hitung-hitungan kursi di DPR. Jadi pihak-pihak di DPR yang akan mempersoalkan kesepakatan damai di Aceh sebagai sesuatu yang cacat politik pun, dianggap pemerintah akan kalah bila harus melalui voting.
Dan ini sudah teruji, saat pemerintah akan menaikkan harga BBM. Waktu DPR meramaikan BBM, dukungan masyarakat begitu tercurah kepada DPR. Namun dengan cara-cara yang "aneh" kalangan DPR yang propemerintah bisa menggagalkan. Jadi ini hitung-hitungan yang hanya sederhana saja sebenarnya.
Yang kedua, ini karena untuk menyukseskan masalah proyek "saudagar" saja. Jadi permasalahan Aceh harus cepat-cepat diselesaikan, agar proyek-proyek para saudagar dapat segera berjalan dengan lancar. Ini sama halnya ketika AS menyerbu Irak. Setelah rezim Saddam Husein tumbang, segeralah mengalir program-program pembangunan untuk Irak yang dikomandoi Dick Chenney, Burton, dan pengusaha-pengusaha raksasa AS yang dekat dengan Presiden Bush.

Yang ketiga, ada yang menduga kalau langkah ini diambil sebagai upaya untuk meraih penghargaan atau pengakuan internasional. Mungkin saja ada keinginan dari para pemimpin kita, agar dicalonkan mendapat Nobel Perdamaian. Selain itu bisa juga terkait lemahnya keuangan kita, karena utang yang begitu besar. Belum lagi dengan adanya tsunami. Mungkin saja ada agenda, akan datang bantuan yang besar, atau ada penghapusan utang sehingga beban pemerintah saat ini menjadi ringan. Jadi dugaan-dugaannya bisa mencapai hal-hal yang sangat jauh. Logis kan orang berpikir seperti itu.


Lalu apa hal yang positif yang dicapai pemerintah?


Kita harus melihat dari dua sisi. Dari sisi pemerintah: cara mengondisikan rakyatnya, bisa dikatakan oke. Namun dari sisi kepentingan untuk mencapai hal yang makro, dalam hal ini menjaga keutuhan NKRI, ini saya nilai mengkhawatirkan. Mengapa saya katakan pemerintah berhasil mengondisikan suasana? Karena pemerintah berhasil membuat framing atau pembingkaian atau pengotak-ngotakan.

Wacana yang dimunculkan pemerintah adalah, mereka yang menolak kesepakatan damai adalah orang-orang yang senang berperang. Senang menumpahkan darah, antiperdamaian, atau bahkan dianggap orang yang selama ini mencari untung besar di tengah kekacauan. Di satu sisi juga dimunculkan bagaimana penderitaan rakyat Aceh selama konflik antara pemerintah dan GAM, juga adanya bencana tsunami yang begitu parah.
Karena itu terangkum suatu pemikiran bahwa langkah damai adalah satu-satunya jalan agar permasalahan Aceh dapat segera diatasi. Media juga saya nilai 'termakan' oleh framing pemerintah. Media ini cinta damai atau cinta perang sih. Kalau cinta damai, kalau cinta perikemanusiaan ya dukung dong pemerintah. Sebagian besar media langsung menyambut besar-besaran penandatanganan di Helsinki dengan memaparkan berbagai harapan-harapan. Namun tidak semua media, karena ada juga yang berani tampil beda. Jadi framing-nya bisa dibilang sukses. Padahal bukan di situ letak permasalahannya. Damai it's ok, tetapi bagaimana proses menuju perdamaian itu. Apakah sudah menempuh jalur yang sesuai dengan prosedur. Lalu apakah sudah selaras dengan cita-cita luhur para pendiri negeri ini yaitu NKRI. Ya sangat disesalkan bila untuk mencapai perdamaian itu keutuhan NKRI tergadai.
Jadi bisa dikatakan kalau yang memenangi komunikasi politik untuk masalah ini adalah GAM?
Saya pribadi cenderung mengatakan ya. Agak sulit mengatakan kedua pihak ini mau mencapai perdamaian karena masalah emosional. Ungkapan sudah lama kita berkelahi, marilah kita berdamai, tiada hujan yang tidak berhenti, itu hanya bumbu-bumbu untuk mengalihkan dari masalah politik real ke masalah emosional, dan kemanusiaan. Ini adalah politik yang real, hitung-hitungan yang real, yang memungkinkan GAM lebih berpeluang mendapat keuntungan pada masa depan. Kalau untuk masalah DPR sih bisa diatasi, tapi masalah penerapannya di lapangan nanti pasti berpotensi menimbulkan kekisruhan.


Seperti apa misalnya?


Saya menilai GAM itu tidak bodoh, karena banyak permintaan mereka yang mereka tahu persis kalau didesakkan pasti diterima oleh pemerintah. Maka hal itu nanti akan memberikan persoalan bagi pemerintah. Mari kita bicarakan keterlibatan AMM sebagai pemantau. Okelah pemerintah langsung mengemukakan ke publik kalau kita juga pernah lo bekerja untuk menjaga perdamaian di negara-negara lain seperti halnya AMM. Seperti di Kamboja, Timur Tengah dan sebagainya. Tapi yang perlu dicatat kita tidak punya kewenangan yang sehebat AMM. Kita aktif menjadi pemantau dan penjaga perdamaian dengan bendera PBB.
Jadi salah kalau kita terjebak lalu menganalogikan seperti yang sudah pernah kita lakukan pada masa lalu. GAM itu punya pengalaman menginternasionalisasikan perjuangan. Karena itu salah besar kalau yang menjadi hakim dalam kasus pertikaian antara pemerintah dan GAM adalah pihak orang asing. Pascapenandatanganan di Helsinki 15 Agustus lalu, peluang terjadinya kemelut besar sekali. Misalnya ada gerakan pasukan misterius yang membunuhi warga Aceh. Bisa saja gerakan ini untuk memfitnah pasukan TNI. Maka yang dibunuh adalah anggota GAM yang sudah insyaf, atau keluarga mereka. Terjadi kerusuhan di sana, maka yang menjadi wasit ya AMM. Kita bisa bilang itu direkayasa GAM, tetapi hasil akhirnya yang memutuskan juga AMM. Jadi GAM terlihat luhur mau berdamai, tapi sebenarnya sudah menumpuk berbagai 'senjata' atau 'bom waktu' bukan dalam arti yang sebenarnya, dan siap meledakkan pada isaat yang tepat.
Maka sangat disesalkan kalau pemerintah tidak mempunyai second opinion, third opinion bahkan lebih. Padahal di depan mata sudah nampak akan terjadi masalah yang serius. Kita jadi bertanya sejauh mana pemerintah kita melibatkan orang-orang yang benar-benar andal dalam berdiplomasi dengan GAM.
Padahal Deplu punya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu. Juga ada satu lagi pertanyaan, negara yang dilanda konflik kan tidak hanya Indonesia, Filipina juga masih ada konflik dengan Moro, Thailand juga punya konflik di wilayah selatan. Namun apakah mereka merasa harus memakai mediator asing seperti Finlandia, kan tidak. Apakah AMM itu adalah sebuah bentuk baku yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Kan tidak, lalu mengapa kita tidak menolaknya. Mengapa kita harus seperti itu? Mengapa wakil-wakil kita tidak melakukan pendekatan yang critical, tetapi malah berpikir terlalu positif.


Bagaimana prediksi Anda ke depan?


Akan terjadi banyak gangguan pada perdamaian di sana. Hanya saya tetap berharap pemerintah segera mengantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk. Saya sangat-sangat tidak rela Aceh akan lepas dari NKRI. Karena begitu Aceh lepas, maka adalah sebuah keniscayaan bila provinsi kaya lain akan mengikuti jejaknya. Coba kita lihat bagaimana orang Papua ditangkap aparat saat mengibarkan bendera bintang kejora. Mereka pasti akan menuntut hal yang sama begitu tahu kalau orang Aceh boleh mengibarkan bendera. Begitu juga kewenangan-kewenangan yang dimiliki 'pemerintah Aceh', orang Papua pasti menuntut hal sama. Jadi kondisi seperti ini ibarat menaruh korek api di dalam jerami. (Hartono Harimurti-35)



Sang Jomblo Yang Intelek

SIAPA
yang menyangka jika Effendi Gazali MPS ID PhD ternyata pernah menjadi pelawak. Pria kelahiran Padang 5 Desember 1966 ini pada tahun 80-an pernah ngetop bersama grup lawak mahasiswa Uni-versitas Indonesia bernama Ikatan Remaja Memble Aje (IRMA). "Saya ini humoris. Dan saya suka menonton pelawak manggung. Lalu saya salurkan potensi saya ini. Karena kami mahasiswa tentunya ingin dong ngelawak yang intelek gitu lho," kata Dosen Pascasarjana FISIP UI ini.
IRMA kali pertama pentas di acara-acara UI. Lalu mengisi acara ke kampus-kampus lain di Jakarta, serta umum. Saking larisnya, sampai-sampai Effendi terpaksa menyeriusi hobinya itu. "Kami sampai serius menyiapkan teman biar tidak terjadi pengulangan-pengulangan yang membuat penonton bosan. Jadi kuliah serius, ngelawak juga serius. Tapi saya nggak pernah bercita-cita jadi pelawak karena saat itu banyak pelawak yang ber-madesu alias bermasa depan suram," kata lajang asli Minang ini. Menurut pendapat dia, sebagai ukuran ngetopnya IRMA -yang lahir hampir bersamaan dengan Bagito pimpinan Miing (masih di radio)- adalah dengan tampil di TVRI 13 episode.
Namun Effendi justru kecewa. "Namun dari 13 episode yang direkam, hanya dua yang ditayangkan. Yang ditayangkan itu yang paling nggak ada apa-apanya. Lawakan kami memang sering berupa kritik sosial. Pemerintah Orde Baru ternyata gerah juga. Namun gimana lagi karena TVRI masih satu-satunya televisi."
Ketika anggotanya selesai kuliah, IRMA pun bubar. Effendi yang lulus dari Jurusan Komunikasi FISIP UI, kemudian meniti karier sebagai wartawan olahraga di Tabloid Mingguan Bola. Dia memilih menjadi wartawan, karena profesi ini sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan hobi bermain sepak bola. "Saya ingin bekerja dibidang yang saya kuasai serta yang sesuai hobi. Jadi kloplah menjadi wartawan olahraga yang meliput soal sepak bola. Saya pernah meliput Piala Dunia 1990 di Italia," kata Ketua Alumni Soccer Club (ASC) UI ini.
Selepas menjadi wartawan, dia tertarik untuk lebih mendalami komunikasi. Lalu dia masuk program Pascasarjana Fisip UI di Jurusan Komunikasi. Menjelang reformasi, pada 1997 dia dan rekan-rekan sesama mahasiswa Pascasarjana UI bergabung dalam FORUM WACANA (mahasisWA pasCA sarjaNA) UI. Effendi bahkan menjadi president Forum ini pada periode 1997-1998. "Wacana terbentuk, karena waktu itu banyak yang sinis terhadap aksi mahasiswa UI. Banyak yang mengatakan kalau itu kerja amatiran. Kami jawab ooo tunggu dulu, lihat kita dong yang dari Pascasarjana. Ada konseptor di balik aksi adik-adik kami seperti Faisal Basri, Kristianto Wibisono, Fadjul Rahman juga La Ode Ida dan saya termasuk di dalamnya," kata pria yang juga hobi diskusi dan membaca berbagai buku ini.
Effendi menyukai berdiskusi, karena menganggapnya sebagai cara yang sangat efektif untuk mentransfer pengetahuan, selain membaca buku. Lulus S2, Effendi mengabdi menjadi dosen di almamate. Dia kemudian mendapat beasiswa untuk mengambil program Master of International Comunication di
Cornell University, New York, AS. Setamat dari Cornel, Effendi mengambil PhD di bidang komunikasi politik di Nijmegen University Belanda. "Sebenarnya saya ditawari S3 di Indiana University, tapi saya tidak tertarik suasananya, karena berbeda jauh dari New York. Akhirnya saya ditawari beasiswa ke Belanda. Ya saya ambil, agar dapat suasana yang beda sekalian, karena di Eropa."
Effendi memutuskan untuk mengambil komunikasi politik karena berdasarkan pemikiran bahwa cepat atau lambat demokrasi akan berkembang di seluruh dunia. Negara-negara yang semula totaliter akan berubah menjadi demokratis. Dan itu semua bisa berjalan bila ditunjang proses komunikasi politik yang efektif dari media-media yang makin sadar akan perannya dalam sebuah perubahan. "Di Indonesia saat ini citra lebih penting daripada isi. Pemimpin terpilih karena pencitraan tanpa didukung substansi. Atau istilahnya komunikasi tanpa substansi. Karena itu saya berobsesi menghidupkan Salemba School untuk untuk meningkatkan media literacy dan campaign literacy di Indonesia," kata dia.
Menurut pendapat dia, masyarakat perlu disadarkan agar nanti tidak segan-segan menboikot tayangan atau gambar, iklan dan sebagainya yang tidak mendidik alias menjerumuskan. Atau mengadukan hal itu ke Komisi Penyiaran Indonesia, dengan demikian rakyat tidak pasrah begitu saja dicekoki sesuatu yang tidak bermutu.
Bagaiman keluarga Effendi? Ternyata dia masih menjomblo alias membujang. "Saya pernah mempunyai girlfriend saat kuliah di Cornell. Saat saya mau serius alias mau mengajak dia menikah dan ikut ke Indonesia, dia menolak. Penolakannya itu lebih karena harus ikut ke Indonesia he he he, tapi kan saya harus kembali ke Indonesia," katanya. (Hartono Harimurti-35)

Tidak ada komentar: