Rabu, 13 Februari 2008

INDRA J PILIANG



Minggu, 19 Maret 2006
Indra J Piliang: Gaji 20-30 Kali UMR, Kok DPR Mbolosan


DPR merencanakan menaikkan pendapatan. Tentu saja usulan itu langsung direspons publik secara negatif. Ada alasan moral atau politik apa sehingga DPR seakan-akan tidak memiliki "rasa krisis"? Jangan-jangan gaji para anggota DPR memang rendah? Jangan-jangan penghasilan mereka memang dikuras oleh partai? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu diperlukan pengamat politik jempolan. Dan salah satu yang bisa dilibatkan dalam perbincangan tersebut adalah Indra J Piliang. apa komentar dia tentang persoalan tersebut? Berikut petikan perbincangan dengan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta belum lama ini.


Baru-baru ini kita mendengar rencana kenaikan pendapatan anggota DPR di tengah-tengah kondisi perekonomian rakyat yang makin sulit. Bagaimana komentar Anda melihat fenomena ini?


Sebetulnya hal ini terjadi karena selama hampir 39 tahun, bahkan 40 tahun, mulai pasca-Dekrit Presiden 1959 sampai reformasi 1998, parlemen kita lemah. Mereka sangat tergantung kepada birokrasi, pemerintah, dan eksekutif - dalam hal ini lembaga kepresidenan. Hal ini terjadi dari parlemen tingkat pusat sampai ke daerah tingkat dua. Termasuk dalam soal ketergantungan anggaran. Setelah keluar UU No 22 tahun 99 tentang Pemerintahan Daerah -termasuk UU tentang Parpol-, maka hak bugdet itu diberikan agak penuh.
Hak yang seperti ini yang membuka peluang bagi anggota parlemen, untuk menentukan sendiri budget-nya. Sejauh ini apabila kita memperbandingkan secara objektif, eksekutif lebih kuat dari pada parlemen dalam hal budget. Misalnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Setiap Departemen hampir mempunyai dana sampai Rp 4 miliar, sedangkan untuk parlemen sendiri sangat tergantung dana pemerintah. Selain itu mereka juga tidak punya staf ahli kompeten. Kalaupun ada, ya cuma seorang. Dan itu hanya dibayar Rp 2,5 juta per bulan pakai dana negara.
Saat ini tentu sulit mencari ahli yang mau dibayar segitu. Tentu anggota DPR masih perlu lagi merogoh kocek sendiri. Sebetulnya apa yang dibutuhkan parlemen ini agar berdaya dan mampu berbuat sebagaimana mestinya masih banyak. Namun mereka belum bisa menjelaskan kepada publik sehingga yang dilihat publik adalah sesuatu yang mereka terima sebagai take home pay terlalu besar.
Yang sifatnya untuk kepentingan pribadi dan terlalu besar itu memang harus ditolak. Namun kita juga tidak bisa saja main tolak saja, bila ini untuk pemberdayaan sebuah sistem kontrol yang nanti dapat mengontrol kekuasaan secara efektif. Namun anggaran itu untuk pengawasan, kerjasama, hubungan dengan konstituen dan membayar tenaga ahli yang kompeten, ya itu bisa dimengerti. Juga misalnya untuk membuat kantor perwakilan atau sekretariat berdasarkan daerah pemilihan, ini akan mempermudah kerja mereka. Menurut saya ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan. Selama ini mereka kan lebih kuat berkomitmen kepada partainya, karena memang masuknya mereka lewat jalur partai. Kesenjangan ini harus kita atasi, kita coba rekatkan melalui sekretariat, karena DPR ternyata lebih punya wewenang daripada DPD. Ini yang perlu dipikirkan.


Ada pemikiran gaji anggota DPR layak tinggi, sehingga mereka bisa berperan sebagai fungsi kontrol kepada eksekutif secara optimal. Bagaimana pendapat Anda?


Pemikiran agar gaji anggota DPR itu tinggi, sesungguhnya dimaksudkan agar mereka bisa berbuat banyak untuk rakyat. Saya rasa itu sangat tergantung situasi dan kondisi di negeri ini. Gaji anggota DPR menurut saya harus dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Juga harus dibandingkan dengan gaji pegawai negeri terendah di negara kita.
Perlu juga kita ingat seorang buruh itu juga bekerja keras siang malam untuk mendapatkan upah minimum mereka. Untuk mendapatkan uang yang pas-pasan saja bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan mereka sering masih terabaikan hak-haknya. Secara gamblang orang akan berpikir adalah suatu yang tidak adil bila, anggota DPR yang gajinya sampai 20 bahkan 30 kali lipat UMR, masih saja membolos, masih saja cuma bisa menampung aspirasi, belum mampu memperjuangkan atau menggolkan aspirasi rakyat.
Jadi, harus kita kaji lagi masalah penggajian ini secara komprehensif. Perlu juga kita pikirkan kemungkinan ada pemotongan gaji dan tunjangan bagi mereka yang malas. Selain itu kalau pun memang ada tambahan dana, maka itu harus ditujukan kepada pemberdayaan lembaga parlemen itu sendiri. Bukan masuk ke kantong-kantong pribadi anggota parlemen. Saya mendambakan ada sebuah lembaga laksana tanki tempat pemikir atau pakar-pakar andal yang dimiliki parlemen. Ada dana cukup yang menunjang aktivitas dan kreativitas mereka yang bergabung di dalamnya. Ada pemikiran brilian yang dapat mereka hasilkan, dan ujung-ujungnya mereka dapat berbuat yang terbaik bagi rakyat.
Seperti produk legislasi yang matang, dan benar-benar berpihak kepada kepentingan yang lebih besar. Yaitu rakyat bangsa dan negara ini. Bukan untuk kepentingan segelintir orang yang berada di sebuah rezim, namun mengatasnamakan bangsa dan negara. Dana yang masuk untuk upaya pemberdayaan seperti itu juga harus diaudit secara ketat, dan segala sesuatunya tetap dalam konteks kewajaran dan kepantasan. Jangan sampai lembaga ini nanti menjadi sarana untuk mencari gaji yang besar-besaran bagi para pakar yang akan bergabung di dalamnya.
Masalah gaji ini kan masalah yang sensitif di negeri ini. Karena itu perlu pembahasan secara komprehensif sehingga ketemu rumusan bahwa gaji yang mereka terima sangat layak untuk menunjang berbagai aktivitas, namun tidak berlebihan sehingga tidak bertentangan dengan keadilan masyarakat. Dan itu semua dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban yang paling efektif adalah lahirnya Undang-Undang yang komprehensif, bukannya seperti saat ini yang cenderung prematur, sehingga mengundang berbagai pihak mengajukan uji materiil. Keadaan seperti ini harus segera dibenahi, karena seharusnya pada era reformasi ini kualitas berdemokrasi melalui parlemen makin maju, bukannya makin mundur.
Ada yang menilai rencana menaikkan pendapatan ini adalah suatu bentuk arogansi. Padahal mereka belum berbuat optimal. Atau mereka hanya cuma bisa menampung aspirasi?
Kalau dinilai itu sebuah arogansi, menurut saya bisa dikatakan demikian kalau mereka ngotot untuk menaikkan, dan memakai kacamata kuda. Tidak melihat kondisi sekelilingnya. Atau bersikap mumpung bisa menentukan sebesar-besarnya gaji, ya mengapa tidak? Karena itu, sebagai jalan tengah untuk mengontrol orang yang berpikir mumpung ini, publik juga harus tahu apa saja yang diterima wakil mereka di parlemen.
Tugas-tugas anggota parlemen itu kan sudah jelas dan masing-masing tugas itu juga ada 'amplop'nya. Saya contohkan anggota parlemen DKI. Setiap kunjungan kerja di wilayahnya dia dapat Rp 1,5 juta. Terus kalau dia menerima demonstran, melayani mereka dan mencatat aspirasi yang disampaikan juga dapat Rp 1,5 juta. Dan mereka bisa melakukan ini maksimal antara 16 sampai 18 kali -saya lupa persisnya- dalam satu bulan.
Jadi, bisa dibayangkan berapa yang mereka terima kalau memaksimalkan aktivitas kerjanya. Jadi, take home pay anggota DPRD DKI itu jauh lebih besar daripada anggota DPR-RI. Keadaan ini menimbulkan adanya penolakan kader partai untuk ditugaskan partainya ke DPR RI. Mereka lebih senang mengincar kursi di DPRD DKI. Ini juga perlu diketahui. Namun yang paling penting adalah anggota parlemen harus kita hindarkan menerima dana dari pihak ketiga. Sangat berbahaya, karena bisa jadi ini merupakan pintu masuk bagi kepentingan pihak ketiga.


Seperti apa contohnya?


Misalnya DPR RI yang mau ke luar negeri, ternyata Adam Air ikut membiayai. Juga DPRD DKI. Beberapa waktu lalu kan pernah geger kalau kunjungan ke luar negeri ternyata memakai dana Taman Impian Jaya Ancol. Ini tidak boleh. Jadi harus memakai anggaran yang ada. Kalau tidak ada, ya janganlah memaksakan, lalu sampai mencari-cari pihak ketiga. Yang rawan seperti itu, bila kunjungan kerja anggota DPR itu untuk mengontrol suatu proyek, atau untuk mempertimbangkan apakah proyek itu layak disetujui atau tidak, maka pasti banyak pihak terkait yang mau membiayai, dan mengamplopi.


Saat ini anggota parlemen kan masih "dibebani" untuk menyumbang secara rutin kepada partai, atau gajinya dipotong sebagian untuk itu. Bisakah ini menjadi alasan pendorong untuk menaikkan pendapatan?


Menurut saya, itu alasan yang sangat mengada-ada. Kalaupun ada hal itu, ya itu tidak layak dijadikan alasan menaikkan gaji mereka. Perlu kita tanya apakah mereka itu mengutamakan mengabdi kepada partai atau atau berjuang untuk rakyat. Setelah menjadi anggota parlemen, semestinya kepentingan partai berhenti. Oke lah kita tidak bisa memungkiri bahwa partai memang berjasa mendudukkan mereka ke parlemen. Partai yang menentukan nomor urut calon yang berelasi dengan kemungkinan dia bisa lolos ke Senayan atau tidak. Namun partai kan juga mendapat bantuan dana dari pemerintah dengan hitungan per kursi. Makin banyak kursi makin banyak dia mendapat bantuan dana pemerintah. Ada anggaran dari APBN dan APBD untuk itu. Partai politik kan boleh juga menerima sumbangan dari perorangan, asalkan bukan dari negara asing.
Nah yang menjadi masalah seputar kehidupan parlemen kita adalah banyak juga yang menjadi anggota parlemen bukan berasal dari kelas menengah. Banyak juga yang bertujuan ingin mengubah nasib secara drastis dengan menjadi anggota parlemen. Ya mereka akhirnya memanfaatkan posisi strategis sebagai anggota parlemen, untuk mengumpulkan pundi-pundi. Kalau sudah begini ya mereka oke saja mendapat uang dari pihak ketiga. Karena mereka menomorsatukan pengumpulan pundi-pundi. Kalau mereka datang dari kalangan menengah atas, yang fondasi ekonominya mantap, maka niatan jelek seperti itu bisa diminimalisasikan.
Jadi bukan serta merta pasti hilang, karena mereka juga manusia yang tidak pernah terpuaskan. Saya lihat ini juga ada problem atau masalah budaya. Bahwa masyarakat tidak usah menyumbang parpol, karena itu urusan anggota DPR yang dianggap sebagai orang yang banyak uangnya.
Padahal parpol perlu juga mendapatkan sumbangan dari masyarakat, tanpa harus masyarakat itu diiming-imingi bakal menjadi anggota DPR kalau menyumbang. Tapi yang penting apa pun sumbangan dari masyarakat itu betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Jadi tercatat dengan baik walaupun cuma Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu atau yang besar nilainya asalkan tidak melanggar batasan yang diatur oleh Undang-Undang.
Sepengetahuan saya sampai saat ini masalah pengelolaan keuangan partai politik masih buruk. Baik itu partai besar lebih-lebih partai kecil. Paling hanya ketua umum dan segelintir elite yang tahu. Dan bendahara baru kerja keras kalau mau kongres. Saat itu baru banyak dana masuk dari mana-mana. Ini sangat rawan terjadi korupsi.
Jadi, benar yang dikatakan Transparansi Internasional Indonesia kalau salah satu lembaga yang korup adalah parpol. Karena menejemen keuangan dan pelaporannya sama sekali tidak melalui proses audit. Dapat dananya saja secara kagetan, istilahnya. Misalnya mau jadi kandidat ketua umum membayar beberapa ratus juta, atau puluhan juta. Karena pemberdayaan atau pembangunan parpol ke arah yang lebih baik, tidak hanya melalui dukungan berupa suara saat pemilu saja, tetapi juga perlu dukungan dana dari masyarakat. Ini yang perlu kita kembangkan sehingga kloplah kalau mereka harus memperjuangkan kepentingan rakyat lebih besar daripada kepentingan rezim partainya. Jadi, kalau niatnya untuk menyumbang parpol agar maju dan berdaya tidak apa-apa. Namun yang jadi masalah, saat ini banyak yang niatnya membeli suara anggota parpol agar dia terpilih menjadi ketua. Jadi, uangnya masuk kantong orang-orang partai bukan untuk partainya.


Saat ini muncul gagasan calon independen, bagaimana menurut Anda?


Saat ini partai politik memang menjadi, istilahnya, agen tunggal, atau pintu masuk satu-satunya untuk ke parlemen, kabinet, dan juga presiden, gubernur, bupati dan wali kota. Semuanya harus mempunyai kendaraan partai politik. Sayang, parpol yang punya peran yang sangat strategis itu belum berfungsi sebagaimana mestinya. Alias masih lemah, masih bermasalah. Juga ada kondisi bahwa Ketua Umum Parpol duduk di ekskutif, maka itu akan mengganggu check and ballances. Terlebih lagi kalau parpolnya mendapatkan kursi yang signifikan di parlemen. Inilah yang mendorong perlunya kandidat independen. Baik itu untuk presiden maupun parlemen. Akan kita uji siapa yang paling berpihak kepada rakyat, apakah calon independen atau parpol. Sayang pintu untuk calon independen ini belum dibuka. (Hartono Harimurti-35)


Berawal Dari Surau Dan Lapau

MENJADI petani atau pedagang sukses. Itulah cita-cita awal pria bernama lengkap Indra Jaya Piliang ini. Cita-cita seperti itu tidak lepas dari latar belakangnya yang lama hidup di daerah pedesaan Kabupaten Pariaman Sumatera Barat. Walaupun hidup di lingkungan pedesaan, namun hal-hal berbau politik sudah dia kenal sejak kecil. ''Pertama karena ayah saya dulu adalah aktivis Partai Masyumi. Kedua, di Sumatera Barat diskusi atau pembicaraan tentang politik itu biasa dilakukan di lapau atau warung. Kalau masalah yang sudah menyentuh kemasyarakatan dan konteksnya dengan agama, dibicarakan di surau (masjid). Di dua tempat itulah kami membangun tradisi intelektual,'' kata pria kelahiran Pariaman, 19 April 1972 ini.
Walaupun begitu, sewaktu muda Indra tidak ingin menjadi politikus. Dia lebih suka menjadi petani atau pedagang sukses. ''Karena jadi politikus atau anggota DPR kan harus pakai cara-cara khusus dan juga nasib bagus. Saya itu dulu ingin jadi orang biasa-biasa saja,'' kata putra pasangan Boestami Dt Nan Sati dan Yarlis ini.
Saat akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Indra langsung memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Karena menurut orang di kampungnya, kalau bisa sekolah ke Jakarta mengapa cukup merasa puas sekolah di Padang. Akhirnya dia memilih Universitas Indonesia. Saat menjadi mahasiswa baru Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Indra mempunyai pengalaman paling menarik. ''Yaitu saat malam inisiasi, waktu itu senior saya banyak yang orang 'kiri'. Saat itulah saya baru mengerti seperti apa pemikiran kiri ala mahasiswa 90-an itu. Sulit saya gambarkan tapi inisiasi oleh mereka itu betul-betul merupakan pengalaman baru bagi saya yang latar belakangnya 'kanan'. Para senior saya itu akhirnya menjadi pendiri PRD,'' kata suami Faridah Thul Hotimah ini.
Saat kuliah Indra juga bergabung dengan Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) dan menjadi pengurus HMI Cabang Depok. Selain itu ayah Afzaal Zapata Bhista ini juga aktif di pers kampus. Tahun 1993-1994 dia menjadi manajer Tabloid Fakultas Sastra UI Ekspresi. Tahun 1994-1995 menjadi Kepala Litbang Majalah Mahasiswa UI Suara Mahasiswa. Pada 1996-1997 menjadi redaktur kepala Koran Kampus Warta UI. Selain itu sejak 1995 dia mulai menulis di berbagai media.
Begitu lulus dari UI pada tahun 1997, Indra bekerja sebagai editor Tabloid Jurnal Reformasi dan Moment. Setelah menggeluti dunia pers, dia bergabung dengan Partai Amanat Nasional. Dalam Partai yang digagas Amien Rais ini, kariernya berawal dari Kepala Departemen Hubungan Media Massa, DPC PAN Tangerang (1999), Lalu pada 2000, dia menjadi Staf Departemen Budaya DPP PAN.
Seiring berjalannya waktu dia dan beberapa tokoh muda PAN memutuskan keluar dari PAN. Dia lalu bergabung menjadi peneliti di CSIS mulai 2000 hingga saat ini. Setelah berprofesi sebagai peneliti masalah politik dan perubahan sosial, Indra sering diminta menjadi 'host' di berbagai talk show untuk tema yang sesuai bidangnya. Antara lain talk show tentang demokrasi di Jakarta News FM, aspirasi publik di Trijaya FM, dan menjadi komentator tetap Delta FM sewaktu Sidang Tahunan MPR 2001 lalu.
Sebagai alumni HMI, dia kemudian bergabung dengan Korps Alumni HMI (KAHMI) Pro, yang merupakan kumpulan kaum muda KAHMI yang orang-orang profesional.
Selain itu dia juga aktif menulis artikel untuk Jurnal Madani yang diterbitkan Pengurus Besar (PB) HMI.
Mengenai hobinya menonton film yang serius, Indra mengaku hal itu sangat membantu dia saat dipercaya menjadi ketua tim kreatif pembuatan film (sinetron) Pustaka Tokoh Bangsa. ''Sebagai ketua tim kreatif saya ikut menyusun skenario serta melakukan riset dengan mewawancarai orang-orang dekat tokoh Soekarno, Hatta dan Sutan Sjahrir. Saya juga ikut menentukan nama-nama Anjasmara (sebagai Bung Karno), David Chalik (Hatta) dan Fathur Java Jive (Sjahrir),'' katanya.
Indra mengaku kagum dengan kemampuan akting Fathur Java Jive yang sangat baik, dan tidak kalah dari David Chalik serta Anjasmara yang memang sudah menekuni dunia sinetron. Saat ditanya tentang keluarganya, Indra mengaku mendapatkan istrinya karena mengikuti Pemilihan Raya Mahasiswa UI.
''Waktu itu saya memang tidak terpilih menjadi Ketua Umum SEMA UI, tapi saya dapat salah satu panitia pemilihan tersebut, yaitu Faridah.''
Saat ditanya apa obsesi yang belum dicapainya, Indra mengaku ingin menjadi Doktor, sehingga bisa mengajar di mana-mana. Karena selain menjadi peneliti dirinya juga mendambakan bisa mengajar di almamaternya. ''Selain itu saya juga ingin membawa anak saya ke Chiapas di Mexico. Minimal untuk menemukan jejak perlawanan rakyat yang terkenal dengan nama Zapatista itu. Tapi anak saya harus tahu betul tanah kelahiran ayahnya di Pariaman terlebih dahulu.'' (Hartono Harimurti-35)

Tidak ada komentar: