Jumat, 15 Februari 2008

MUHAMMAD LUTFI



Minggu, 05 Juni 2005
Muhammad Lutfi: Investor Tak Takut Masuk ke Indonesia

KEPALA Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM) Muhammad Lutfi memiliki pandangan-pandangan segar mengenai berbagai persoalan yang berkaitan dengan dunia investasi, upah perburuhan, dan kemungkinan Indonesia menjadi bangsa yang menyejahterakan rakyat dan bermartabat. Pria kelahiran Jakarta 16 Agustus tersebut berharap kita jangan sampai melakukan salah urus terhadap sumber daya alam. Lalu bagaimana mengatasasi masalah pungutan liar yang menghambat penanaman modal di Indonesia? Berikut perbincangan dengan dia di Gedung BKPM Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan, belum lama ini.


Setelah menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Anda menyatakan akan mengubah imej BKPM yang otoritatif menjadi badan yang melayani kepentingan investor. Bagaimana penjelasannya?


Perkembangan dari kompetisi negara-negara di kawasan ASEAN untuk mengundang investasi saat ini sudah sangat tajam. Singapura dan Thailand yang tidak memiliki sumber daya alam yang bagus seperti kita, bisa berkompetisi dengan baik. Sayang kita kalah dalam masalah pemprosesan izin.
Artinya, ke depan Indonesia diharuskan mereposisi dan harus mempunyai cetak biru yang baru agar dapat menjadi sasaran negara-negara investor. Salah satu caranya adalah meng-up to date-kan lembaga, termasuk BKPM. Jika pada masa lalu hanya memberikan perizinan, maka pada masa depan ia harus mempunyai orientasi terhadap layanan karena tantangan pada investasi masa depan akan jauh lebih tajam dan kesempatannya lebih sempit. Ini tantangan dan memerlukan perhatian serius.


Langkah konkret seperti apa yang akan Anda ambil?


Ada tiga hal yang harus saya kerjakan secepat mungkin. Yang pertama adalah bagaimana Rancangan Undang Undang (RUU) Penanaman Modal bisa selesai di DPR. Insya Allah paling terlambat September 2005. Kedua, bagaimana bisa mengubah sikap dengan mengefisiensikan proses-proses perizinan. Ketiga, bagaimana mencoba transfer mind set dari institusi BKPM sebagai fasilitator. Ini penting, karena kita (BKPM) adalah palang pintu atau ilustrasi dari pemerintah Susili Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Marilah lewat BKPM ini kita menunjukkan bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang pro terhadap penciptaan nilai tambah.


Apakah kita sudah mampu untuk melakukan hal itu?


Kita kan tidak pernah bercermin pada diri kita. Ketika ingin mereposisi dan membangunkan investasi asing, kita harus fair juga dong. Apa sih yang layak kita jual? Kekuatan kita sebenarnya di mana? Kelemahan, kesempatan kita di mana? Bagaimana pula ancaman terhadap kita?
Selama ini, BKPM masih melaksanakan potentional productive. Artinya, tak kenal maka tak sayang. Kita harus punya platform. Ini adalah kompilasi dari arahan Menteri Perindutrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian tentang cetak biru ke depan. Juga dari Menteri Perhubungan, Menteri Kehutanan, dan Menteri Kelautan. Paling tidak, dari sumber daya alam yang kita miliki, kita punya platform yang jelas. Jangan sampai potensi sumber daya alam kita yang berlimpah ini salah urus sehingga gagal memberikan berbagai nilai tambah.


Apa tujuan platform kompilasi ini?


Dari kompilasi ini, kita punya prioritas. Investasi ini penting untuk membesarkan perekonomian Indonesia. Ketika perekonomian menjadi besar, kita menjadi semakin sejahtera. Langkah-langkahnya adalah kita punya prioritas, jobs creation dan poverty reduction.
Setelah kesejahteraan itu ada, maka kita akan menjadi bangsa bermartabat. Yang penting bagaimana kita memproses pemanfaatan sumber daya alam, mengembangkan komoditas kakao, dan mendapatkan nilai tambah industri kelapa sawit yang selama ini masih berupa crude palm oil (CPO) dan belum ada turunannya.
Orang akan berinvestasi jika ada risiko dan biaya rendah. Karena dua koefisien ini akan diterjemahkan pada cost yang akan mengurangkan biaya revenue. Risiko rendah ini termasuk kestabilitasan, keamanan, dan sebagainya. Kita memiliki permasalahan itu setelah krisis. Tapi perlu diketahui kita kan sudah keluar dari semua itu pada 2001.


Apa indikatornya?


Sekarang saya tunjukan angka-angkanya. Kwartal pertama 2005 pertumbuhan GDP Indonesia naik 6,35 persen. Yang kedua, konsumsi hanya 3,22 persen. Yang ketiga, investasi naik 14,9 persen. Ekspor naik hampir 14 persen. Artinya, ekonomi Indonesia ini mulai menggeliat.
Ini adalah suatu bukti bahwa ketika pemerintahan disiplin dan punya komitmen terhadap perubahan-perubahan baru. Kita bisa lihat dari proyek pipeline dari Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Biayanya sekitar 1,5 hingga 2 miliar dolar AS. Ini tampak sangat mahal. Namun bila ini sudah jadi, maka subsidi yang Rp 90 triliun akan berkurang. Dan nilai tambahnya bila pipeline ini jadi, maka biasanya di pinggir-pinggir pipa itu akan tumbuh industri-industri baru. Banyak yang akan kita kerjakan dan ini masuk dalam skala prioritas.
Kita bisa kembangkan fatsoen pada calon investor 'jika tak datang untuk berinvestasi di Indonesia, maka you tak dapat uang.' Ketika jemput bola atau 'door to door' ke Jepang bersama Menko Perekonomian, Pak Aburizal Bakrie, saya bertemu dengan perusahaan trading terbesar di Jepang yang memiliki usaha di Indonesia lebih dari 30 tahun, mereka menyatakan commit. Mereka mungkin lebih mengenal Indonesia daripada saya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah menandatangani Strategic Investment Action Plan (SIAP).


Bagaimana dengan masih merebak pungutan liar dan pungutan lain sebagai dampak otonomi daerah? Bukankah ini hambatan bagi investasi?


Memang kita perlu lakukan simplification and eficiency in processing. Jadi, kita sadar, proses perizinan investasi di Indonesia memakan waktu 151 hari. Namun dari 151 hari itu, ada 75 hari proses di Departemen Hukum dan HAM. Itu memang suatu proses Lembaran Negara yang makan waktu lama.
Namun kita harus cari terobosan. Misalnya, tidak usah lagi harus menunggu Lembaran Negara, tetapi dengan fotokopi dari riset bahwa industri akan dijalankan, maka dari 151 hari sudah turun menjadi 75 hari. Kami sadar ternyata ongkos investasi di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia, di bawah Bangladesh.
Ini sesuatu yang jadi tugas kita bersama dan akan jadi tugas saya ke depan. Berhubung saya "baru" di kantor yang resmi, saya minta waktu mungkin sekitar dua minggu untuk membuat position letter. Ini harus segera saya lakukan karena penyederhanaan ini sudah begitu mendesak.


Bagaimana dengan faktor keamanan?


Keamanan dan stabilitas juga suatu hal yang penting untuk investasi. Namun jangan lupa, bahwa yang namanya investor itu, begitu ada kesempatan yang lebih baik, dia akan masuk. Contohnya ketika Bank Central Asia dijual, calon investor berbondong-bondong untuk membeli. Juga ketika Telkom dijual, 600 juta dolar AS masuk. Ini masalah risiko dan biaya rendah. Ketika mereka bisa menjustifikasi masalah, investor tidak akan takut untuk masuk. Namun kita mesti terima bahwa stabilitas, keamanan, dan transparansi sekarang jauh lebih baik. Dan angka-angka yang saya sebutkan tadi membuktikan kita telah mengerjakan pekerjaan rumah kita.


Bagaimana dengan upah buruh kita? Apakah kompetitif?


Tren dunia ke depan adalah upah buruh murah. Itu bukan hal menarik. Mungkin dulu komponen itu mencapai 24 persen. Sekarang paling tinggal 15 persen. Sebenarnya buruh murah itu bukan berati dia lebih murah karena untuk itu dibutuhkan produktivitas. Kita bisa belajar dari China. Upah buruh di sana jauh lebih tinggi dari upah buruh di Indonesia, bahkan hingga 60 persen. Bahkan di industri elektronika dan komputer lebih tinggi lagi, yakni hingga 70 persen. Namun produktivitas mereka bisa mencapai 40 hingga 50 persen lebih bagus dari buruh kita. Jadi memang capacity building ini tidak bisa ditinggalkan. Jadi, ini bukan sekadar masalah investasi, tetapi juga kesejahteraan, karena capacity building itu bisa jalan kalau merek sejahtera.


Jika upah buruh tinggi, maka biaya produksi meningkat, akhirnya harga menjadi mahal. Apakah kita bisa bersaing?


Masalah kuncinya bukan pada upah buruh yang tinggi. Kita ingin buruh lebih sejahtera. Namun kita juga butuh produktivitas yang tinggi. Dari situ baru klop. Jika dibandingkan dan dikombinasikan, produktivitas dan buruh ternyata lebih murah. Meskipun harganya lebih mahal, produktivitasnya tinggi. Jangan salah, kita harus menginginkan dan mengupayakan agar buruh kita juga sejahtera. Seperti saya sampaikan sebelumnya, tujuan kita adalah menciptakan rakyat sejahtera dan bermartabat. Untuk bisa mempunyai capacity building ini, kita mesti punya rencana yang jelas.


Siapa saingan potensial kita di Asean?


Ibarat orang main sepak bola, pascakrisis ini kita mengalami degradasi. Dulu saingan kita Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina. Sekarang saingan kita Vietnam, Laos, dan Kamboja. Sebenarnya kita jauh lebih hebat dari mereka. Tanpa banyak melakukan pengorbanan atau perubahan yang drastis, asalkan kita punya komitmen, apalagi dengan demokrasi yang mampu menciptakan pemerintah yang terlibat dalam penyelesaian persoalan masyarakat, saya pikir kita bisa memenangi kompetisi. (Saktia Andri Susilo, Hartono Harimurti-35)



Tak Bermimpi Jadi Pejabat


SEPULANG dari merampungkan kuliah di Amerika Serikat, ayah Lutfi justru menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri. Sebagaimana latar belakang ayahnya yang tradisional dan religius, keinginan seperti itu wajar. Karena bagaimanapun juga profesi pegawai negeri -walaupun bergaji kecil- adalah profesi yang aman di mata banyak orang.
Namun Lutfi berpikir lain. Menurut pendapat dia adalah rugi bila latar belakang pendidikannya dari luar negeri hanya mendapat imbalan yang pas-pasan sesuai gaji pegawai negeri. Karena itua dia langsung memutuskan bekerja di perusahaan swasta. "Ternyata selain mendapatkan gaji layak, saya juga banyak mendapat ilmu saat saya bekerja di swasta. Dan ilmu itu tidak saya dapatkan sewaktu sekolah. Sekolah hanya mengajarkan membaca, menulis, berhitung, berbicara dan berpikir lebih luas, tetapi untuk bisa mempraktikkan atau berbuat ke masyarakat. Yya kita harus bekerja dan di situ kita belajar lagi lebih luas dan lebih real," kata pria kelahiran Jakarta 16 Agustus 1969 ini.
Lutfi yang anak Jakarta keturunan Minang tersebut mengatakan bahwa dalam dunia kerja, kegemarannya untuk berkompetisi makin terasah sehingga walaupun meraih sukses di perusahaan tempat bekerja, dia pun memutuskan untuk keluar dan berwiraswasta sendiri. "Ini memang didorong oleh keinginan saya untuk berkompetisi. Saya sudah siap mental untuk menghadapi tantangan dan kemungkinan rugi, karena berusaha sendiri. Berusaha itu kan tidak mudah, belum tentu kita buat 10 jenis usaha semuanya untung, tetapi kita harus berani memulai," kata pemilik Mahaka Grup yang bergerak dari bidang penerbitan, media massa, sampai energi ini.
Saat ditanya tentang obsesi yang belum tercapai, Lutfi mengaku sulit merumuskan. Kata alumnus Puerdue University Indiana, AS (1992) ini, dia adalah seorang yang sangat pragmatis dan praktis. "Obsesi yang belum saya capai, apa ya? Mungkin tidak ada ya. Karena saya itu selalu ingin menyelesaikan apa yang ada di depan saya dengan sekuat tenaga. Dengan tetap bertindak profesional tentunya. Saya ini sangat pragmatis dan praktis. Tidak muluk-muluk terlalu jauh ke depan," kata Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2001-2004 ini.
Saat ditanya tentang apa yang menyebabkan dirinya terlibat dalam Tim sukses SBY-Kalla, Lutfi mengatakan itu karena didorong oleh semangat ingin ikut memberikan pembaharuan di negeri ini. Kata salah satu pendiri Masyarakat Ekonomi Syariah ini, rakyat sudah merindukan sosok pemimpin yang gagah berwibawa, pintar, dan mampu bekomunikasi dengan baik. "Dan yang masuk kriteria saya saat itu ya pasangan SBY-Kalla. Saya pun tahu kalau sebagai pengusaha dan masuk tim sukses salah satu calon Presiden-Wapres, tentu saja besar risikonya. Coba bayangkan kalau ternyata pasangan itu kalah, bisa berabe juga usaha saya, karena pasti deh terkena dampaknya he he he," kata suami Bianca Adinegoro ini.
Saat terlibat dalam Tim Pemenangan SBY-Kalla, Lutfi juga mengaku tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikirannya kalau dirinya nanti akan ditunjuk sebagai pejabat negara. "Tidak ada sedikit pun pemikiran ke arah itu. Wong saya ini masih muda, dan banyak orang-orang yang lebih senior dan lebih berpengalaman. Yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana rakyat mendapatkan pemimpin baru yang lebih sensitif terhadap permasalahan yang diderita rakyat. Itu saja, tidak pernah terbayang kalau saya bakal ditunjuk sebagai Kepala BKPM," kata Ketua HIPMI Jakarta Raya 1998-2001 ini.
Dengan ditunjuk Lutfi sebagai Kepala BKPM, maka kesibukan dan tugas berat menanti dijunjung di pundak. Untuk bisa menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik, dia mengaku siap belajar habis-habisan. "Sekarang saya giatkan lagi membaca hal-hal yang terkait dengan seluk beluk investasi, saya juga terus belajar dan belajar kepada para senior. Terus berkoordinasi dan sebagainya. Sambil memperhatikan seluruh potensi yang ada. Ini dalam rangka agar saya dapat memberikan yang terbaik," kata dia.
Di tengah-tengah kesibukan Lutfi masih menyempatkan diri menjaga kebugaran dengan berlari sejauh 5 Km setiap pagi. Untuk keluarga?
"Selama ini Sabtu dan Minggu saya gunakan khusus untuk keluarga, sejauh tidak ada tugas penting dari negara. Kalau ada ya saya minta keluarga maklum kalau waktu saya untuk mereka terpaksa tersita," kata dia. (Hartono Harimurti, Saktia Andri Susilo-35)

Rabu, 13 Februari 2008

INDRA J PILIANG



Minggu, 19 Maret 2006
Indra J Piliang: Gaji 20-30 Kali UMR, Kok DPR Mbolosan


DPR merencanakan menaikkan pendapatan. Tentu saja usulan itu langsung direspons publik secara negatif. Ada alasan moral atau politik apa sehingga DPR seakan-akan tidak memiliki "rasa krisis"? Jangan-jangan gaji para anggota DPR memang rendah? Jangan-jangan penghasilan mereka memang dikuras oleh partai? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu diperlukan pengamat politik jempolan. Dan salah satu yang bisa dilibatkan dalam perbincangan tersebut adalah Indra J Piliang. apa komentar dia tentang persoalan tersebut? Berikut petikan perbincangan dengan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta belum lama ini.


Baru-baru ini kita mendengar rencana kenaikan pendapatan anggota DPR di tengah-tengah kondisi perekonomian rakyat yang makin sulit. Bagaimana komentar Anda melihat fenomena ini?


Sebetulnya hal ini terjadi karena selama hampir 39 tahun, bahkan 40 tahun, mulai pasca-Dekrit Presiden 1959 sampai reformasi 1998, parlemen kita lemah. Mereka sangat tergantung kepada birokrasi, pemerintah, dan eksekutif - dalam hal ini lembaga kepresidenan. Hal ini terjadi dari parlemen tingkat pusat sampai ke daerah tingkat dua. Termasuk dalam soal ketergantungan anggaran. Setelah keluar UU No 22 tahun 99 tentang Pemerintahan Daerah -termasuk UU tentang Parpol-, maka hak bugdet itu diberikan agak penuh.
Hak yang seperti ini yang membuka peluang bagi anggota parlemen, untuk menentukan sendiri budget-nya. Sejauh ini apabila kita memperbandingkan secara objektif, eksekutif lebih kuat dari pada parlemen dalam hal budget. Misalnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Setiap Departemen hampir mempunyai dana sampai Rp 4 miliar, sedangkan untuk parlemen sendiri sangat tergantung dana pemerintah. Selain itu mereka juga tidak punya staf ahli kompeten. Kalaupun ada, ya cuma seorang. Dan itu hanya dibayar Rp 2,5 juta per bulan pakai dana negara.
Saat ini tentu sulit mencari ahli yang mau dibayar segitu. Tentu anggota DPR masih perlu lagi merogoh kocek sendiri. Sebetulnya apa yang dibutuhkan parlemen ini agar berdaya dan mampu berbuat sebagaimana mestinya masih banyak. Namun mereka belum bisa menjelaskan kepada publik sehingga yang dilihat publik adalah sesuatu yang mereka terima sebagai take home pay terlalu besar.
Yang sifatnya untuk kepentingan pribadi dan terlalu besar itu memang harus ditolak. Namun kita juga tidak bisa saja main tolak saja, bila ini untuk pemberdayaan sebuah sistem kontrol yang nanti dapat mengontrol kekuasaan secara efektif. Namun anggaran itu untuk pengawasan, kerjasama, hubungan dengan konstituen dan membayar tenaga ahli yang kompeten, ya itu bisa dimengerti. Juga misalnya untuk membuat kantor perwakilan atau sekretariat berdasarkan daerah pemilihan, ini akan mempermudah kerja mereka. Menurut saya ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan. Selama ini mereka kan lebih kuat berkomitmen kepada partainya, karena memang masuknya mereka lewat jalur partai. Kesenjangan ini harus kita atasi, kita coba rekatkan melalui sekretariat, karena DPR ternyata lebih punya wewenang daripada DPD. Ini yang perlu dipikirkan.


Ada pemikiran gaji anggota DPR layak tinggi, sehingga mereka bisa berperan sebagai fungsi kontrol kepada eksekutif secara optimal. Bagaimana pendapat Anda?


Pemikiran agar gaji anggota DPR itu tinggi, sesungguhnya dimaksudkan agar mereka bisa berbuat banyak untuk rakyat. Saya rasa itu sangat tergantung situasi dan kondisi di negeri ini. Gaji anggota DPR menurut saya harus dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Juga harus dibandingkan dengan gaji pegawai negeri terendah di negara kita.
Perlu juga kita ingat seorang buruh itu juga bekerja keras siang malam untuk mendapatkan upah minimum mereka. Untuk mendapatkan uang yang pas-pasan saja bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan mereka sering masih terabaikan hak-haknya. Secara gamblang orang akan berpikir adalah suatu yang tidak adil bila, anggota DPR yang gajinya sampai 20 bahkan 30 kali lipat UMR, masih saja membolos, masih saja cuma bisa menampung aspirasi, belum mampu memperjuangkan atau menggolkan aspirasi rakyat.
Jadi, harus kita kaji lagi masalah penggajian ini secara komprehensif. Perlu juga kita pikirkan kemungkinan ada pemotongan gaji dan tunjangan bagi mereka yang malas. Selain itu kalau pun memang ada tambahan dana, maka itu harus ditujukan kepada pemberdayaan lembaga parlemen itu sendiri. Bukan masuk ke kantong-kantong pribadi anggota parlemen. Saya mendambakan ada sebuah lembaga laksana tanki tempat pemikir atau pakar-pakar andal yang dimiliki parlemen. Ada dana cukup yang menunjang aktivitas dan kreativitas mereka yang bergabung di dalamnya. Ada pemikiran brilian yang dapat mereka hasilkan, dan ujung-ujungnya mereka dapat berbuat yang terbaik bagi rakyat.
Seperti produk legislasi yang matang, dan benar-benar berpihak kepada kepentingan yang lebih besar. Yaitu rakyat bangsa dan negara ini. Bukan untuk kepentingan segelintir orang yang berada di sebuah rezim, namun mengatasnamakan bangsa dan negara. Dana yang masuk untuk upaya pemberdayaan seperti itu juga harus diaudit secara ketat, dan segala sesuatunya tetap dalam konteks kewajaran dan kepantasan. Jangan sampai lembaga ini nanti menjadi sarana untuk mencari gaji yang besar-besaran bagi para pakar yang akan bergabung di dalamnya.
Masalah gaji ini kan masalah yang sensitif di negeri ini. Karena itu perlu pembahasan secara komprehensif sehingga ketemu rumusan bahwa gaji yang mereka terima sangat layak untuk menunjang berbagai aktivitas, namun tidak berlebihan sehingga tidak bertentangan dengan keadilan masyarakat. Dan itu semua dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban yang paling efektif adalah lahirnya Undang-Undang yang komprehensif, bukannya seperti saat ini yang cenderung prematur, sehingga mengundang berbagai pihak mengajukan uji materiil. Keadaan seperti ini harus segera dibenahi, karena seharusnya pada era reformasi ini kualitas berdemokrasi melalui parlemen makin maju, bukannya makin mundur.
Ada yang menilai rencana menaikkan pendapatan ini adalah suatu bentuk arogansi. Padahal mereka belum berbuat optimal. Atau mereka hanya cuma bisa menampung aspirasi?
Kalau dinilai itu sebuah arogansi, menurut saya bisa dikatakan demikian kalau mereka ngotot untuk menaikkan, dan memakai kacamata kuda. Tidak melihat kondisi sekelilingnya. Atau bersikap mumpung bisa menentukan sebesar-besarnya gaji, ya mengapa tidak? Karena itu, sebagai jalan tengah untuk mengontrol orang yang berpikir mumpung ini, publik juga harus tahu apa saja yang diterima wakil mereka di parlemen.
Tugas-tugas anggota parlemen itu kan sudah jelas dan masing-masing tugas itu juga ada 'amplop'nya. Saya contohkan anggota parlemen DKI. Setiap kunjungan kerja di wilayahnya dia dapat Rp 1,5 juta. Terus kalau dia menerima demonstran, melayani mereka dan mencatat aspirasi yang disampaikan juga dapat Rp 1,5 juta. Dan mereka bisa melakukan ini maksimal antara 16 sampai 18 kali -saya lupa persisnya- dalam satu bulan.
Jadi, bisa dibayangkan berapa yang mereka terima kalau memaksimalkan aktivitas kerjanya. Jadi, take home pay anggota DPRD DKI itu jauh lebih besar daripada anggota DPR-RI. Keadaan ini menimbulkan adanya penolakan kader partai untuk ditugaskan partainya ke DPR RI. Mereka lebih senang mengincar kursi di DPRD DKI. Ini juga perlu diketahui. Namun yang paling penting adalah anggota parlemen harus kita hindarkan menerima dana dari pihak ketiga. Sangat berbahaya, karena bisa jadi ini merupakan pintu masuk bagi kepentingan pihak ketiga.


Seperti apa contohnya?


Misalnya DPR RI yang mau ke luar negeri, ternyata Adam Air ikut membiayai. Juga DPRD DKI. Beberapa waktu lalu kan pernah geger kalau kunjungan ke luar negeri ternyata memakai dana Taman Impian Jaya Ancol. Ini tidak boleh. Jadi harus memakai anggaran yang ada. Kalau tidak ada, ya janganlah memaksakan, lalu sampai mencari-cari pihak ketiga. Yang rawan seperti itu, bila kunjungan kerja anggota DPR itu untuk mengontrol suatu proyek, atau untuk mempertimbangkan apakah proyek itu layak disetujui atau tidak, maka pasti banyak pihak terkait yang mau membiayai, dan mengamplopi.


Saat ini anggota parlemen kan masih "dibebani" untuk menyumbang secara rutin kepada partai, atau gajinya dipotong sebagian untuk itu. Bisakah ini menjadi alasan pendorong untuk menaikkan pendapatan?


Menurut saya, itu alasan yang sangat mengada-ada. Kalaupun ada hal itu, ya itu tidak layak dijadikan alasan menaikkan gaji mereka. Perlu kita tanya apakah mereka itu mengutamakan mengabdi kepada partai atau atau berjuang untuk rakyat. Setelah menjadi anggota parlemen, semestinya kepentingan partai berhenti. Oke lah kita tidak bisa memungkiri bahwa partai memang berjasa mendudukkan mereka ke parlemen. Partai yang menentukan nomor urut calon yang berelasi dengan kemungkinan dia bisa lolos ke Senayan atau tidak. Namun partai kan juga mendapat bantuan dana dari pemerintah dengan hitungan per kursi. Makin banyak kursi makin banyak dia mendapat bantuan dana pemerintah. Ada anggaran dari APBN dan APBD untuk itu. Partai politik kan boleh juga menerima sumbangan dari perorangan, asalkan bukan dari negara asing.
Nah yang menjadi masalah seputar kehidupan parlemen kita adalah banyak juga yang menjadi anggota parlemen bukan berasal dari kelas menengah. Banyak juga yang bertujuan ingin mengubah nasib secara drastis dengan menjadi anggota parlemen. Ya mereka akhirnya memanfaatkan posisi strategis sebagai anggota parlemen, untuk mengumpulkan pundi-pundi. Kalau sudah begini ya mereka oke saja mendapat uang dari pihak ketiga. Karena mereka menomorsatukan pengumpulan pundi-pundi. Kalau mereka datang dari kalangan menengah atas, yang fondasi ekonominya mantap, maka niatan jelek seperti itu bisa diminimalisasikan.
Jadi bukan serta merta pasti hilang, karena mereka juga manusia yang tidak pernah terpuaskan. Saya lihat ini juga ada problem atau masalah budaya. Bahwa masyarakat tidak usah menyumbang parpol, karena itu urusan anggota DPR yang dianggap sebagai orang yang banyak uangnya.
Padahal parpol perlu juga mendapatkan sumbangan dari masyarakat, tanpa harus masyarakat itu diiming-imingi bakal menjadi anggota DPR kalau menyumbang. Tapi yang penting apa pun sumbangan dari masyarakat itu betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Jadi tercatat dengan baik walaupun cuma Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu atau yang besar nilainya asalkan tidak melanggar batasan yang diatur oleh Undang-Undang.
Sepengetahuan saya sampai saat ini masalah pengelolaan keuangan partai politik masih buruk. Baik itu partai besar lebih-lebih partai kecil. Paling hanya ketua umum dan segelintir elite yang tahu. Dan bendahara baru kerja keras kalau mau kongres. Saat itu baru banyak dana masuk dari mana-mana. Ini sangat rawan terjadi korupsi.
Jadi, benar yang dikatakan Transparansi Internasional Indonesia kalau salah satu lembaga yang korup adalah parpol. Karena menejemen keuangan dan pelaporannya sama sekali tidak melalui proses audit. Dapat dananya saja secara kagetan, istilahnya. Misalnya mau jadi kandidat ketua umum membayar beberapa ratus juta, atau puluhan juta. Karena pemberdayaan atau pembangunan parpol ke arah yang lebih baik, tidak hanya melalui dukungan berupa suara saat pemilu saja, tetapi juga perlu dukungan dana dari masyarakat. Ini yang perlu kita kembangkan sehingga kloplah kalau mereka harus memperjuangkan kepentingan rakyat lebih besar daripada kepentingan rezim partainya. Jadi, kalau niatnya untuk menyumbang parpol agar maju dan berdaya tidak apa-apa. Namun yang jadi masalah, saat ini banyak yang niatnya membeli suara anggota parpol agar dia terpilih menjadi ketua. Jadi, uangnya masuk kantong orang-orang partai bukan untuk partainya.


Saat ini muncul gagasan calon independen, bagaimana menurut Anda?


Saat ini partai politik memang menjadi, istilahnya, agen tunggal, atau pintu masuk satu-satunya untuk ke parlemen, kabinet, dan juga presiden, gubernur, bupati dan wali kota. Semuanya harus mempunyai kendaraan partai politik. Sayang, parpol yang punya peran yang sangat strategis itu belum berfungsi sebagaimana mestinya. Alias masih lemah, masih bermasalah. Juga ada kondisi bahwa Ketua Umum Parpol duduk di ekskutif, maka itu akan mengganggu check and ballances. Terlebih lagi kalau parpolnya mendapatkan kursi yang signifikan di parlemen. Inilah yang mendorong perlunya kandidat independen. Baik itu untuk presiden maupun parlemen. Akan kita uji siapa yang paling berpihak kepada rakyat, apakah calon independen atau parpol. Sayang pintu untuk calon independen ini belum dibuka. (Hartono Harimurti-35)


Berawal Dari Surau Dan Lapau

MENJADI petani atau pedagang sukses. Itulah cita-cita awal pria bernama lengkap Indra Jaya Piliang ini. Cita-cita seperti itu tidak lepas dari latar belakangnya yang lama hidup di daerah pedesaan Kabupaten Pariaman Sumatera Barat. Walaupun hidup di lingkungan pedesaan, namun hal-hal berbau politik sudah dia kenal sejak kecil. ''Pertama karena ayah saya dulu adalah aktivis Partai Masyumi. Kedua, di Sumatera Barat diskusi atau pembicaraan tentang politik itu biasa dilakukan di lapau atau warung. Kalau masalah yang sudah menyentuh kemasyarakatan dan konteksnya dengan agama, dibicarakan di surau (masjid). Di dua tempat itulah kami membangun tradisi intelektual,'' kata pria kelahiran Pariaman, 19 April 1972 ini.
Walaupun begitu, sewaktu muda Indra tidak ingin menjadi politikus. Dia lebih suka menjadi petani atau pedagang sukses. ''Karena jadi politikus atau anggota DPR kan harus pakai cara-cara khusus dan juga nasib bagus. Saya itu dulu ingin jadi orang biasa-biasa saja,'' kata putra pasangan Boestami Dt Nan Sati dan Yarlis ini.
Saat akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Indra langsung memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Karena menurut orang di kampungnya, kalau bisa sekolah ke Jakarta mengapa cukup merasa puas sekolah di Padang. Akhirnya dia memilih Universitas Indonesia. Saat menjadi mahasiswa baru Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Indra mempunyai pengalaman paling menarik. ''Yaitu saat malam inisiasi, waktu itu senior saya banyak yang orang 'kiri'. Saat itulah saya baru mengerti seperti apa pemikiran kiri ala mahasiswa 90-an itu. Sulit saya gambarkan tapi inisiasi oleh mereka itu betul-betul merupakan pengalaman baru bagi saya yang latar belakangnya 'kanan'. Para senior saya itu akhirnya menjadi pendiri PRD,'' kata suami Faridah Thul Hotimah ini.
Saat kuliah Indra juga bergabung dengan Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) dan menjadi pengurus HMI Cabang Depok. Selain itu ayah Afzaal Zapata Bhista ini juga aktif di pers kampus. Tahun 1993-1994 dia menjadi manajer Tabloid Fakultas Sastra UI Ekspresi. Tahun 1994-1995 menjadi Kepala Litbang Majalah Mahasiswa UI Suara Mahasiswa. Pada 1996-1997 menjadi redaktur kepala Koran Kampus Warta UI. Selain itu sejak 1995 dia mulai menulis di berbagai media.
Begitu lulus dari UI pada tahun 1997, Indra bekerja sebagai editor Tabloid Jurnal Reformasi dan Moment. Setelah menggeluti dunia pers, dia bergabung dengan Partai Amanat Nasional. Dalam Partai yang digagas Amien Rais ini, kariernya berawal dari Kepala Departemen Hubungan Media Massa, DPC PAN Tangerang (1999), Lalu pada 2000, dia menjadi Staf Departemen Budaya DPP PAN.
Seiring berjalannya waktu dia dan beberapa tokoh muda PAN memutuskan keluar dari PAN. Dia lalu bergabung menjadi peneliti di CSIS mulai 2000 hingga saat ini. Setelah berprofesi sebagai peneliti masalah politik dan perubahan sosial, Indra sering diminta menjadi 'host' di berbagai talk show untuk tema yang sesuai bidangnya. Antara lain talk show tentang demokrasi di Jakarta News FM, aspirasi publik di Trijaya FM, dan menjadi komentator tetap Delta FM sewaktu Sidang Tahunan MPR 2001 lalu.
Sebagai alumni HMI, dia kemudian bergabung dengan Korps Alumni HMI (KAHMI) Pro, yang merupakan kumpulan kaum muda KAHMI yang orang-orang profesional.
Selain itu dia juga aktif menulis artikel untuk Jurnal Madani yang diterbitkan Pengurus Besar (PB) HMI.
Mengenai hobinya menonton film yang serius, Indra mengaku hal itu sangat membantu dia saat dipercaya menjadi ketua tim kreatif pembuatan film (sinetron) Pustaka Tokoh Bangsa. ''Sebagai ketua tim kreatif saya ikut menyusun skenario serta melakukan riset dengan mewawancarai orang-orang dekat tokoh Soekarno, Hatta dan Sutan Sjahrir. Saya juga ikut menentukan nama-nama Anjasmara (sebagai Bung Karno), David Chalik (Hatta) dan Fathur Java Jive (Sjahrir),'' katanya.
Indra mengaku kagum dengan kemampuan akting Fathur Java Jive yang sangat baik, dan tidak kalah dari David Chalik serta Anjasmara yang memang sudah menekuni dunia sinetron. Saat ditanya tentang keluarganya, Indra mengaku mendapatkan istrinya karena mengikuti Pemilihan Raya Mahasiswa UI.
''Waktu itu saya memang tidak terpilih menjadi Ketua Umum SEMA UI, tapi saya dapat salah satu panitia pemilihan tersebut, yaitu Faridah.''
Saat ditanya apa obsesi yang belum dicapainya, Indra mengaku ingin menjadi Doktor, sehingga bisa mengajar di mana-mana. Karena selain menjadi peneliti dirinya juga mendambakan bisa mengajar di almamaternya. ''Selain itu saya juga ingin membawa anak saya ke Chiapas di Mexico. Minimal untuk menemukan jejak perlawanan rakyat yang terkenal dengan nama Zapatista itu. Tapi anak saya harus tahu betul tanah kelahiran ayahnya di Pariaman terlebih dahulu.'' (Hartono Harimurti-35)

KOMARUDDIN HIDAYAT



Minggu, 01 Oktober 2006
Komaruddin Hidayat: Jangan Hanya Terpaku Pada Puasa


TAK banyak yang memahami peran puasa dalam kehidupan yang kian konsumtif. Sangat sedikit pula yang mengerti betapa puasa bisa menjadi pembangkit kehidupan. Hanya, sayang puasa kini seakan-akan menjadi sesuatu yang rutin. Lalu apa sebenarnya makna puasa? Apa peran puasa bagi bangsa yang terpuruk? Salah satu intelektual keagamaan bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah Prof Dr Komaruddin Hidayat.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang, ini bahkan membahas fungsi puasa secara kontekstual dengan menggunakan multidisiplin ilmu. Berikut petikan perbincangan dengan guru besar yang senantiasa tampak sumringah ini di Jakarta belum lama ini.


Di tengah-tengah kehidupan yang penuh persaingan dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, menurut Anda apa makna puasa pada era sekarang ini?


Makna puasa itu sangat luas. Puasa itu relevan pada setiap zaman. Puasa juga sudah diwajibkan oleh Allah kepada umat terdahulu. Namun sebelum membahas puasa, kita perlu membicarakan mengenai bagaimana konsep kehidupan yang mulia dulu. Selain bersandar pada literatur Islam, saya juga membaca The Web of Life-A New Scientific Outstanding of Living System karya Capra. Intinya saya hendak mengatakan sesungguhnya hidup ini adalah sebuah networking. Kita tidak hanya hidup dengan sesama, tetapi juga dengan alam sekitar. Dengan udara, tanah, air, tanaman dan cacing sekalipun. Jadi manusia harus mempunyai networking yang baik. Mereka adalah partner untuk saling menyangga satu dengan yang lain. Karena itu kita selaku masterpiece (ciptaan yang terbaik atau adikarya) dari Allah dituntut membimbing dan mengelola agar terjadi hubungan yang harmonis, yang santun untuk seluruh elemen kehidupan alam ini.
Kita ini juga hidup di bumi yang hanya sebagian kecil saja bila dibandingkan dengan jagat raya yang dihuni oleh begitu banyak galaksi, bintang-bintang, dan planet-planet. Saya ibaratkan bumi kita ini sebagai kapal yang mengapung di jagat yang begitu luas dan tak bertepi. Kita mempunyai posisi sebagai nahkoda yang harus membawa bumi ini kepada kehendak Allah. Allah memerintahkan agar kita jangan membuat kerusakan di muka bumi. Atau ibaratnya jangan sampai manusia sebagai nahkoda malah membuat lubang, sehingga kapal dan seisinya akan tenggelam atau hancur sedikit demi sedikit.
Untuk bisa seperti itu manusia diberi kemerdekaan berkreativitas. Walaupun Allah melarang kita merusak, tapi kan tidak otomatis manusia menurut begitu saja larangan Allah, karena mereka bukan robot. Kita punya kreativitas, sedangkan robot tidak. Jadi bila hidup ini kita lakukan dengan adil dan bijaksana, maka anugerah Allah itu akan melimpah. Tapi ketika ada orang yang rakus dan kikir maka anugerah yang melimpah itu jadi tidak ada atau tidak bisa kita rasakan.
Jika kita tidak bijak menjaga tubuh, misalnya, maka akan timbul kolesterol yang tinggi, akibat ada sesuatu yang melimpah tapi tidak diperlakukan bijaksana. Karena itu diperlukan sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan nafsu-nafsu yang merusak kehidupan. Nah puasa adalah salah satu cara karena salah satu makna puasa adalah menahan diri atau Imsak. Ia bisa digunakan untuk mengendalikan diri sehingga hidup senantiasa berdasarkan nurani.
Puasa bukanlah barang baru. Training umat manusia lewat puasa sudah lama diperintahkan Allah kepada umat-umat sebelum kita. Menahan makan, minum sampai dengan hubungan seks selama 14 jam itu menurut saya sebenarnya hanyalahstarting point. Kita menahan kebutuhan biologis atau jasmani ini untuk memosisikan ada kebutuhan rohani yang selama ini dikalahkan.
Puasa itu memasuki fase bernama humanisme religius. Kalau bicara mengenai humanisme, maka kita akan peduli dengan kemanusiaan, cinta kasih, dan sebagainya. Kalau bicara tentang kereligiusan, maka kita akan selalu berupaya lebih dekat dan dekat lagi kepada Allah, sehingga dapat menjadi instrumen kasih ilahi untuk semua makhluk.


Apakah puasa efektif juga untuk menghadapi berbagai problema bangsa ini? Untuk memberantas penyakit korupsi, misalnya?


Puasa itu bukan satu-satunya cara untuk menjadikan manusia baik sesuai fitrah. Puasa itu hanya salah satu instrumen. Dalam Islam banyak sekali instrumen untuk itu, seperti melalui shalat, pendidikan, dan penegakan hukum. Salah kalau kita menganggap puasa sebagai satu-satunya instrumen. Meskipun demikian puasa dan bulan Puasa memang punya posisi strategis. Misalnya seorang penegak hukum sedang berpuasa, lalu saat menangani kasus dia berlaku tidak adil apalagi memeras, maka dia hanya dapat lapar dan haus saja. Sekadar gugur kewajiban.
Sia-sia dia berpuasa kalau pada saat bersamaan dia penuh perbuatan yang tak terpuji. Suasana bulan Ramadan, dengan demikian, bisa membuat dia malu melakukan perbuatan tak terpuji.
Yang perlu diingat ganjaran atas perbuatan tercela itu tidak kelihatan saat itu juga. Karena itu harus ada penegakan hukum. Misalnya kita bicara tentang korupsi, maka korupsi itu adalah perbuatan manusia yang merusak peradaban. Yang menjadi sumber pangkal terjadi korupsi itu ada kelimpahan materi sebagai objek yang dikorupsi dan mental buruk pada diri seseorang.
Lalu apakah orang yang puasa otomatis tidak akan korupsi? Ya tidak otomatis kan? Karena itu harus ada hukum yang ditegakkan untuk menjerat sang koruptor. Penegakan hukum harus dilakukan setiap waktu termasuk pada bulan Puasa. Membangun sebuah kehidupan sosial yang baik harus lewat penegakan hukum. Kalau lewat seruan moral, karena hanya bersifat mengimbau, maka tidak kuat. Memang ada sebagian orang yang mudah tersentuh lalu bertobat, tetapi lebih banyak lagi yang ndableg. Jadi biarlah hukum yang menjerat mereka.
Puasa tetap penting. Ia baik bagi mental untuk menumbuhkan rasa kepedulian sosial. Juga baik bagi kesehatan kita. Jangan mudah mengobral janji dengan puasa. Misalnya dengan puasa pemerintah berharap Indonesia bebas korupsi, ya it's not enough. 'Lembaga' puasa dan 'lembaga' shalat hanya bersifat mengimbau dan training.


Dengan puasa yang hanya selama sebulan, kita diharapkan mampu menjaga batin dari perbuatan tak terpuji selama 11 bulan. Apakah kita mampu?


Ya mampu, tetapi semua itu tergantung orangnya. Dalam puasa, kita mencoba melepaskan diri dari belenggu kenikmatan yang bersifat ragawi atau fisik. Kita merasa puasa begitu heboh, karena pemuasan untuk kebutuhan ragawi dijungkirbalikkan waktunya. Kebutuhan ragawi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin lepas dari makhluk bernama manusia. Namun kebutuhan ini cenderung mendorong kepada keinginan memenuhi tanpa batas (karena kita punya hawa nafsu), sehingga bisa menimbulkan sifat serakah. Lalu kita pun ingin menyerobot hak orang lain dan akhirnya melakukan korupsi.
Kita gembleng diri kita lewat puasa yang dirasa heboh itu. Kita batasi makan dan minum dan berharap sadar bahwa hidup ini tidak sekadar untuk keperluan pemuasan ragawi. Kalau kita terjebak pada urusan pemuasan ragawi, lalu apa beda kita dari hewan? Lewat puasa ini kita melakukan olahnurani. Kalau kita sadar pentingnya hati nurani bagi kehidupan yang lebih bernilai, maka insya Allah kita akan susah payah menjaganya pada 11 bulan berikutnya.
Karena itu, dalam Alquran Allah mengatakan, "Sungguh puasa itu sangat baik bagimu." Hanya, ayat selanjutnya yang berbunyi, "In kuntum ta'lamuun (Kalau kamu melakukannya dengan ilmu)" atau mampu menghayati dengan benar, harus diperhatikan juga. Itu karena kita juga aktif menggali hal-hal yang bersifat nonfisik.
Ayat berikutnya adalah la'alakum tasykuruun (semoga engkau bisa mensyukuri). Kita bersyukur karena kita di-training agar nurani atau yang bersifat nonfisik menjadi lebih peka. Saya berandai-andai bila ada politikus yang mengajukan usulan agar pemerintah melakukan training rohani bagi bangsa ini agar terbebas dari sifat-sifat buruk, berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan? Lewat puasa yang benar, training semacam itu tidak perlu dilakukan.


Lalu, apa yang terjadi jika puasa pun akhirnya sekadar jadi sesuatu yang rutin?


Hidup ini dapat saya katakan kadang rutin kadang tidak. Sebab kalau hidup ini tidak ada pakem yang bersifat rutin akan kacau. Kan ada jam tidur, jam makan, jam kerja, dan sebagainya. Tuhan, kita tahu, memang memberikan aturan-aturan yang dinamai sebagai takdir. Kalau kita tidak makan pasti lapar dan haus hilang kalau kita minum.
Tetapi di atas ketentuan yang rutin itu, kita hendaknya melakukan inovasi-inovasi dan kreativitas sebagai makhluk yang diberi kemerdekaan. Kalau hidup itu hanya rutin belaka maka akan mematikan kreativitas, karena menjadikan diri kita seolah seperti mesin. Dengan puasa maka rutinitas kita berhentikan sebentar. Kita jungkir balikkan waktu makan dan minum kita, walau di sisi lain aktivitas kerja kita normal. Ini akan terasa ada sesuatu yang berbeda. Akan terasa ada perjuangan yang berat bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Nah di balik ini semua tentu ada hikmah yang bisa diambil. Jadi rugi bagi kita yang sekadar menjalankan ritual rutin biasa saja, tanpa mencari apa di balik ini semua. Kita tentu khawatir jika puasa jadi otomatis. Ia akan kita lakukan sebagaimana kita memperlakukan mesin yang di-overhaul setelah menempuh perjalanan sekian kilometer. Ini akan mengakibatkan puasa yang kita lakukan menjadi kehilangan roh. Puasa ya kita lakukan, tetapi perbuatan tercela juga bersamaan dilakukan. Dampak buruknya bagi umat Islam ya segala sesuatunya jadi tidak total. Tidak ada roh atau semangat bagi ibadah yang dilakukan.


Apa sesungguhnya hadiah terindah bagi manusia yang melakukan puasa?


Banyak sekali ganjaran atau hadiah yang diberikan Allah kepada hamba yang berpuasa. Tapi yang perlu diingat ganjaran yang berlimpah ini juga bagi ibadah-ibadah lain seperti shalat dan haji. Setiap perintah selalu juga diikuti hadiah, ganjaran, atau keuntungan yang akan didapat mereka yang melaksanakannya. Ini karena Allah Maha Kasih Sayang.
Karena itu kita jangan hanya terpaku pada ibadah puasa. Semua mulia dan penuh kebajikan bagi orang-orang yang menjalankan dengan benar. Kita akan merasa bulan suci ini penuh keindahan kalau tidak terjebak rutinitas seperti hari-hari biasa. Misalnya di tengah kesibukan bekerja, kita masih menyempatkan membaca Alquran, ikut pengajian, mendengarkan ceramah agama, dan gemar bersedekah, maka kita pasti akan merasakan hal indah. Kita akan merasakan getaran-getaran nurani.
Kita akan merasakan begitu damai dan nikmat beribadah pada bulan suci ini kalau sungguh-sungguh meningkatkan ibadah. Harus memiliki kegiatan peningkatan ibadah yang mendobrak rutinitas. Kita akan merasakan kebahagaian, kedamaian, dan nikmat luar biasa. Ini sulit dituliskan dengan kata-kata.
Kalau dilihat dari historisnya, maka bulan ini merupakan bulan turunnya Alquran. Petunjuk bagi seluruh umat manusia, hadiah yang terbaik bagi umat manusia. Nah sekarang bagaimana Alquran itu dapat nuzul di dalam hati kita. Transformasi yang seperti ini sungguh-sungguh luar biasa. (Hartono Harimurti-35)



Suka Membahagiakan Orang Lain


BERPUASA pada masa kanak-kanak bagi Komaruddin Hidayat mempunyai kenangan sangat berarti. Secara intensif Komaruddin kecil diajak orang tuanya ke masjid pada bulan suci. Di masjid terdapat sekumpulan teman serta berbagai kegiatan yang sangat menyenangkan. "Saya dan teman-teman akhirnya menjadikan masjid sebagai tempat merencanakan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengisi puasa. Saat itu saya merasa masjid kampung seperti memiliki magnet," kenang Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang ini.
Dari kumpul-kumpul bersama teman di masjid, lalu muncul ide buka puasa bersama dengan cara membawa makanan dari rumah masing-masing dan donatur. Acara itu menjadi selingan buka bersama keluarga di rumah. Lalu mereka juga merencanakan kegiatan pawai obor, membangunkan orang sahur, dan sebagainya.
Dari pengalaman selama kanak-kanak dan remaja di Pabelan, Magelang, Komaruddin mengimbau agar orang tua tidak segan-segan mengajak anak ke masjid sejak usia dini. "Kalau pas di masjid keluar nakalnya ya wajar saja, wong namanya anak-anak," kata pria kelahiran Pabelan, Muntilan, Magelang, 18 Oktober 1953 ini.
Komaruddin juga merasakan suasana Ramadan yang bahagia saat dia menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan. Waktu itu KH Hamam Dja'far sering mengadakan lomba-lomba bagi santri. Lomba itu mulai dari yang berhubungan dengan mata pelajaran sampai pidato Ramadan, baca puisi dan sebagainya. "Yang menarik semuanya dapat hadiah, cuma beda kualitas. Ha... ha...ha.... Tapi yang penting Ramadan diisi oleh suasana yang giat, akrab, kompetitif, namun semuanya positif. Ini yang berkesan bagi saya sampai saat ini," kata putra ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Imam Hidayat dan Zubadiah ini.
Sejak kecil dia bercita-cita menjadi pendidik. Cita-cita tersebut terilhami oleh Kiai Hamam Dja'far yang menurutnya pandai meramu metode pengajaran di Ponpes Pabelan sehingga bisa menghadirkan pendidikan modern ala pesantren desa. "Saya baru tahu di Ponpes Pabelan ada metode modern setelah saya sering membaca buku tentang pendidikan modern," kata suami Ait Mahdali ini.
Menurut dia yang diajarkan Kiai Hamam adalah sesuatu yang holistik, tidak dikotomis. Dengan demikian tidak ada yang namanya pelajaran agama 50 persen dan pengetahuan umum 50 persen. Yang ada 100 persen agama, dan 100 persen ilmu pengetahuan. "Jadi kami dikenalkan bahwa prinsip Islam itu mengikuti hukum kebaikan yang bersifat universal. Kami juga diajari berbagai keahlian seperti menyampaikan pendapat di muka umum, pidato, dan sebagainya. Kami dibekali keterampilan, lifeskill," kata ayah Zulfa Indira Wahyuni dan Dian Sukma Agustin ini.
Berbekal lifeskill dia menjadi berani merantau dari Magelang menuju Ciputat, Tangerang untuk menuntut ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah. "Dengan lifeskill itu saya sadar bahwa bahaya bagi kita bila terjebak atau terbelenggu dalam comfort zone atau zona nyaman saja. Akibatnya kita tidak berani bereksplorasi, tidak berani merantau," kata Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini.
Di kampus tersebut dia kuliah di Fakultas Adab selama setahun. Kemudian pindah ke Fakultas Tarbiyah sampai Sarjana Muda. Namun pada akhirnya gelar Sarjana diraih dari Fakultas Ushuluddin pada 1981. Kemudian dia mendapat bea siswa ke Turki mengambil master di Middle East Technical University, Ankara dan meraih PhD pada 1990.
Komaruddin menyukai berprofesi sebagai pendidik, karena merasa bahagia bila bisa memberikan pencerahan atau memintarkan orang lain. "Kita akan bahagia kalau mampu membagi kebahagiaan kepada orang lain,," kata mantan Direktur Yayasan Paramadina yang kini menjadi Direktur Eksekutif Pendidikan Madania ini. (Hartono Harimurti-35)

IMAN SUGEMA



Minggu, 13 Nopember 2005
Iman Sugema: Pemerintah Asal-asalan Atasi Inflasi

JIKA
mencari pengamat ekonomi kritis, temuilah Ir Iman Sugema MEc PhD. Malah, karena terlalu kritis, dia kadang-kadang dinilai antipemerintah. Apakah dia memang musuh pemerihtah? Apa pendapat dia tentang inflasi? Apa usul dia agar inflasi bisa ditekan? Berikut petikan perbincangan dengan Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) di ruang International Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFE), Kampus Baranang Siang, Institut Pertanian Bogor (IPB) Jumat lalu.


Saat ini muncul desakan agar tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu segera diganti. Apakah mereka memang sudah layak diganti? Bagaimana Anda mengevaluasi kinerja tim ekonomi?


Pada prinsipnya ada dua cara mengevaluasi kinerja mereka. Tentu ini dari sudut pandang orang luar. Pertama, dilakukan survei tentang bagaimana kinerja tim ekonomi ini dimata masyarakat. Untuk survei seperti ini lembaga independen seperti LSI, Tim Indonesia Bangkit, dan Sugeng Sarjadi Syndicate, sudah pernah melakukan. Hasil berbagai survei menyebutkan, ada figur-figur yang tidak sesuai dengan harapan karena banyak kebijakan tidak bisa menjawab permasalahan.
Cara kedua, dengan expert panel. Para ekonom -baik yang pro maupun kontra terhadap tim ekonomi pemerintah- dikumpulkan. Dalam forum itu dilakukan penilaian. Individu-individu yang lemah diganti. Yang benar dipertahankan. Tentu semua ini melalui berbagai argumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Berdasarkan survei maupun expert panel yang dilakukan, ternyata menunjukkan hasil yang konsisten.
Yang dilakukan LSI, Indonesia Bangkit, serta Sugeng Sarjadi Syndicate menghasilkan sesuatu yang tidak jauh berbeda atau sudah mengerucut. Ada satu kesamaan. Yaitu tim ekonomi harus di-reshuffle atau dirombak. Terutama di posisi Menko Perekonomian, Menteri keuangan, dan Menteri Perindustrian.

Apakah pertimbangan ada 'saudagar' di tim ekonomi juga menjadi pertimbangan yang mengharuskan reshuffle itu?


Sebetulnya orang awam pun pada kenyataannya sudah berpikir seperti itu. Namanya pedagang atau pengusaha lalu masuk tim ekonomi, orang banyak pun sudah khawatir kalau mereka tidak bisa melepaskan diri dari conflict of interest. Menurut pendapat saya yang paling mudah diukur apakah orang tersebut layak dipertahankan atau tidak adalah dari kemampuan, dari policy-nya. Apakah dia mampu mengkoordinasi menteri-menteri yang masuk tim ekonomi? Apakah dia mampu mendeteksi permasalahan dengan benar? Karena bagaiamana dia bisa memecahkan masalah, kalau mendeteksi permasalahannya saja tidak tepat. Seorang Menko Perekonomian seharusnya mempunyai team work atau cara berpikir yang progress. Kalau cara berpikirnya masih sangat elementer atau kulit saja, ya akan berbahaya bagi perekonomian kita. Prinsipnya adalah bagaimana dia dan timnya mampu mengurangi masalah yang sedang dihadapi.
Misalnya soal dampak kenaikan harga BBM. Kalau dia mampu mengurangi atau bahkan sampai meniadakan berbagai dampak yang memperburuk ekonomi masyarakat, barulah itu sosok yang kita idam-idamkan. Masalah BBM ini kan masalah yang kompleks. Kita dalam hal ini berbicara masalah subsidi dan efisiensi. Di sisi lain bicara masalah efisiensi kan berarti bicara masalah demand, sedangkan masalah yang berkembang adalah kurangnya supply. Yang namanya efisiensi itu hanya bisa dilakukan dalam jangka panjang. Karena harus mengubah kebiasaan banyak orang dalam mengonsumsi energi, mungkin juga harus mengubah teknologi, mengganti mesin, menciptakan mesin baru dan sebagainya.


Bagaimana penilaian Anda tentang kebijakan pemerintah berupa subsidi langsung tunai (SLT)?


Okelah maksud dan tujuan pemberian bantuan ini bagus, atau bahkan mulia. Namun kebijakan yang bagus itu tidak cukup hanya didukung oleh maksud dan tujuan yang bagus saja. Namun yang terpenting kebijakan tersebut adalah bisa diaplikasikan dengan baik dan menjurus kepada penyelesaian masalah untuk jangka panjang.
Kalau ternyata dirancang dengan serbagerak cepat dan tidak mengantisipasi permasalahan yang akan timbul, ya begini jadinya. Terjadi salah sasaran bahkan kerusuhan saat bantuan tersebut dibagikan. Hal-hal seperti ini kan mudah diduga. Anda, saya, dan orang kebanyakan pasti sudah berpikir bakal terjadi keruwetan di sana-sini. Karena itu tim ekonomi seharusnya sudah menyiapkan langkah-langkah detail untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang menyertai subsidi langsung tunai tersebut. Ya mengapa tim ekonomi tidak mampu melihat kemungkinan-kemungkinan seperti itu.

Menurut Anda bagaimana sebaiknya bentuk bantuan tersebut?


SLT itu menurut saya bukan cara untuk mengurangi kemiskinan. Orang miskin itu adalah mereka yang punya pekerjaan, pendapatan, tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi saat ini mereka juga terkena dampak kenaikan harga BBM. Bagaimana mereka itu bisa dinaikkan pendapatan sehingga tidak masuk katagori miskin lagi.
Kembali ke SLT apakah itu bisa menaikkan income? Kalau hanya sesaat, dalam artian kalau SLT dihapuskan karena kemampuan pemerintah tidak ada lagi, misalnya, mereka akan kembali miskin. Karena biasanya dapat tambahan Rp 100 ribu, sekarang tidak ada lagi. Maka jangan asal menolong orang, tanpa disertai cara cerdas untuk menyelesaikan permasalahan. Jumlah orang miskin itu, saat ini diperkirakan 40 juta jiwa. Akibat kenaikan harga BBM dan inflasi baru-baru ini, diperkirakan membengkak sampai 50 juta-an jiwa. Sementara itu orang yang mendekati miskin antara 22 sampai 25 juta jiwa. Jadi orang miskin dan yang mendekati miskin jumlah totalnya hampir 75 juta jiwa. Jumlah yang seperti ini kan berpotensi menimbulkan masalah besar. Belum lagi kita bicara soal pengangguran. Ada 10 juta lebih orang yang menganggur dan 30 juta orang yang setengah menganggur. Dampak kenaikan harga BBM ada tambahan orang yang menganggur sebesar 1 juta orang. Kemiskinan dan pengangguran ini harus diselesaikan dengan multimode atau berbagai macam cara.
Karena itu pemerintah harus mengembangkan usaha yang labour intensive atau padat karya. Saat ini kan sedang digembar-gemborkan pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Namun yang sering digembar-gemborkan yang komersial saja seperti proyek jalan tol.
Padahal yang substansial adalah jalan antarkabupaten, kecamatan, dan desa. Jadi bukan melulu jalan tol. Namun proyek jalan tol memang tidak dapat dimungkiri banyak duitnya, sehingga banyak kepentingan di sana. Setelah jalan antarkecamatan dan desa tersebut jadi atau meningkat kualitasnya, maka itu berpotensi untuk menumbuhkan sektor yang lain. Mereka yang semula bekerja di pembangunan infrastruktur bisa terserap di sektor usaha yang tumbuh di kecamatan dan desa. Misalnya sektor angkutan, industri kecil, warung makan, dan banyak lagi yang bisa dikembangkan.
Adapun bagi mereka yang lebih memilih berwiraswasta, pemerintah harus melaksanakan pelatihan yang memadai. Yaitu pelatihan di bidang peternakan, pertanian, perikanan, perbengkelan, dan sebagainya. Selain itu juga harus didukung skema kredit lunak bagi mereka yang baru memulai usaha, atau yang sudah berusaha tapi kondisinya begitu-begitu saja. Hidup segan mati pun tak mau. Jadi ada upaya menolong dari pemerintah, tetapi masyarakat juga dibangun mentalnya untuk bekerja dan berusaha. Jangan hanya menanti bantuan Rp 100 ribu yang belum tentu bakal selamanya diterima.


Inflasi telah mencapai angka 8,7 Prosen, bagaimana prediksi Anda pada akhir tahun nanti? Apa langkah antisipasi pemerintah sudah memadai?


Saya katakan bahwa sikap asal-asalan juga ditunjukkan pemerintah dalam mengatasi inflasi. Menko Perekonomian kan berkata kalau ini hanya one short inflation. Jadi nggak usah terlalu khawatir. Kok kesannya mengentengkan permasalahan. Kenapa tidak diperhitungkan dampak lanjutannya. Kerja para menteri kan menyiapkan berbagai antisipasi untuk masalah yang sedang dihadapi serta masalah-masalah yang mungkin akan timbul menyertainya.
Perlu diketahui istilah one short inflation kali pertama muncul dari saya saat berbincang-bincang dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Kembali ke one short inflation, kita harus perhatikan dampak ikutannya. Saya menilai ini tidak hanya one short inflation, tapi ada second round-nya.
Hitung-hitungannya begini. PDB kita pertahun sebesar Rp 3000 triliun. Dengan inflasi yang mencapai 8,7 persen, maka biaya inflasi terhadap perekonomian yang harus ditanggung masyarakat adalah 8,7 persen dikalikan Rp 3000 triliun yaitu sebesar Rp 260-an triliun.
Mari kita bandingkan dengan penghematan yang dihasilkan dari pengurangan subsidi BBM, yang kira-kira kurang dari Rp 100 triliun. Terjadi ketimpangan kan. Kita semua yang akan terkena dampak inflasi sebesar Rp 260 trilun itu. Mulai dari yang kecil-kecil. Seperti kalau semula harga barang itu Rp 100, sekaang menjadi Rp 108,7. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), 28,6 persennya itu terjadi di transportasi, ini first round-nya. Untuk sandang 1, sekian persen, makanan jadi 3,5 persen dan kesehatan 0,9 persen. Perlu diingat sektor transportasi merupakan komponen biaya produksi bagi barang-barang lain. Maka pastilah harga-harga barang lain akan menyesuaikan kenaikan ini.
Transportasi dipengaruhi kenaikan harga BBM. Karena itu ujung-ujungnya menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang salah langkah. Inflasi Year on Year menurut saya akan mencapai 17-18 persen. Adapun pemerintah menyebutkan angka 11-12 persen. Bila kita memakai angka 17-18 persen, maka artinya akan ada tuntutan dari para buruh untuk menaikkan upah sebesar 17-18 persen.
Ini juga sebuah dilema. Tidak dinaikkan hidup mereka makin menderita, produktifitas dikhawatirkan menurun. Namun kalau dinaikkan berati menaikkan cost atau biaya produksi. Akibatnya produk kita bisa kehilangan competitiveness dari produk negara lain seperti China dan Vietnam yang mulai membanjiri pasar dalam negeri. Maka kita akan menghadapi pertumbuhan ekonomi yang melemah. Di tengah-tengah prediksi inflasi yang masih seperti ini, ekonom yang tidak mengerti mikro dan makro menyarankan agar dilakukan pengetatan moneter dan fiskal. Kalau saran ini diambil pemerintah, maka ini kan memperparah situasi. Karena bila suku bunga meningkat, NPL akan meningkat di perbankan, perusahaan banyak yang bangkrut.


Akan terjadi krisis ekonomi atau resesi?


Perlu saya jelaskan kalau resesi itu turunnya output nasional. Lawannya dari resesi adalah recovery. Resesi merupakan bagian dari krisis. Krisis itu lebih kompleks misalnya nilai tukar mata uang yang melemah, banyaknya bank yang bangkrut dan sebagainya. Kalau salah policy, bisa saja kemungkinan ini terjadi.


Harga minyak mentah dunia ikut mempengaruhi Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita. Bagaimana prediksi Anda tentang kenaikan harganya?


Harga minyak dunia fluktuatif. Namun untuk turun drastis dalam waktu dekat tida mungkin. Ada kecenderungan stabil seperti saat ini, bahkan ada juga kecenderungan naik. Karena itu perlu dikembangkan energi alternatif. Harga minyak dunia yang fluktuatif tersebut sebenarnya bisa diatasi kalau APBN kita dirancang untuk siap menghadapi kondisi yang terburuk. Kalau tidak siap untuk kondisi yang buruk, maka ya seperti saat ini.

Kita akan selalu menghindar dan melemparkan permasalahan kepada masyarakat. Ingat APBN kita sampai ada jilid I, II dan III. Perlu juga negara diingatkan akan perannya sebagai pelindung rakyat, bukan dari segi keamanan riil saja, tetapi juga dari di bidang perekonomian. Karena itu perlu dipilih menteri yang pintar dan kreatif, yang tidak mudah begitu saja menaikkan harga BBM, begitu harga minyak dunia naik. Kalau muncul komentar asal-asalan, kalau nggak bisa beli BBM ya jalan kaki, kalau nggak mampu beli elpiji ya pakai minyak tanah saja, ya lebih baik kita pilih tukang becak saja jadi menteri he he he.


Siapa alternatif pengganti menteri-menteri tersebut menurut Anda?


Kita tidak kekurangan SDM. Ekonom ternama begitu banyak kita miliki. Di Tim Indonesia Bangkit saja ada 32 orang. Namun kalau untuk nama yang saya sarankan, saya tidak mau menyebutkan. Karena begitu nanti muncul di koran Anda, maka dia akan jadi sasaran tembak, pihak-pihak tertentu. Kalau belum apa-apa dijegal terus menerus kan jadi gagal. (Hartono Harimurti-35)



Pengkritik yang Tak Memusuhi Pemerintah

MENJADI arsitek merupakan cita-cita awal pria bernama lengkap Ir Iman Sugema MEc PhD ini. Karena itu, pria kelahiran Kabupaten Kuningan, 2 Mei 1964 ini sangat menyenangi pelajaran Matematika. "Saya tidak pernah membayangkan menjadi pengamat ekonomi atau ekonom. Saya senang dan pintar Matematika. Karena itu saya ingin jadi arsitek. Lalu saat penjurusan di SMA saya tentu memilih jurusan IPA," kata anak pertama dari enam bersaudara pasangan almarhum Kuswara dan Rumhanah ini.
Menurut Iman bidang perekonomian sangat langka dibicarakan di kalangan keluarga. Karena orang tuanya berprofesi sebagai guru, maka pembicaraan yang sering dilakukan adalah soal pendidikan.
Cita-cita menjadi arsitek pupus ketika dia diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur PMDK. Karena prestasi di SMA bagus, orang tua mendorong Iman melanjutkan kuliah di IPB tanpa tes atau lewat jalur PMDK.
"Sayang sekali kalau saya tidak mau memanfaatkan jalur PMDK. Lalu saya berpikir ya nggak apa-apalah. Nggak jadi arsitek bangunan ya saya jadi arsitek tanaman atau insinyur pertanian, Yang penting gelarnya tetap Insinyur," kata suami Nia Kurniati (37, asal Sumedang) ini.
Setelah diterima di IPB, Iman berkuliah dengan sungguh-sungguh, karena mahasiswa PMDK mendapatkan pengawasan yang ketat. Selain itu, dia tidak ingin mengecewakan kedua orang tua. Setelah lulus tingkat I, Iman sebagaimana mahasiswa IPB lain dijuruskan. "Waktu itu ada tiga mata kuliah yang paling baik nilainya, yaitu Matematika, Bahasa Inggris dan Pengantar Ilmu Ekonomi. Karena relevansinya ke Sosial Ekonomi Pertanian, ya saya memilih jurusan itu, khususnya Agribisnis," kata ayah Nurul Azmi Maula (11), Zakka Muhammad Sidiq (9) dan Syifa Rifa Rosadha (4) ini.


Studi ke Australia
Lulus dari IPB tahun 1987, Iman memilih mengabdi di almamater. Dia menjadi asisten Dosen selama tiga tahun. Di sinilah ketertarikan pada bidang ekonomi mulai bersemi. Pada 1990 dia mendapat beasiswa untuk meraih Master di University of New England, Australia. "Saya mengambil Econometrics dan Ekonomi Sumber Daya khususnya Pertanian. Namun karena pembimbing saya Professor Francis adalah ahli ekonomi Makro, maka saya disarankan agar mengambil tesis yang juga membahas ekonomi makro. Akhirnya saya dapat tiga bidang. Dan tesis saya berjudul Macroeconomic, Trade and Agricultural Linkages in The Australian Economy) akhirnya menjadi the best thesis sehingga memperoleh Award dari Australasian Agricultural Economics Society, pada 1993," katanya.
Setamat Master, 1992, Iman kembali mengajar di almamater. Empat tahun kemudian, dia kembali mendapat beasiswa untuk S3 di Australia. Iman diminta memilih tiga universitas yang akan dituju. Karena pertimbangan lebih mengenal dosen, maka Iman meletakkan dua iniversitas di atas The Australian National University (ANU). "Kebetulan yang mewawancarai saya adalah orang dari ANU. Dia merasa tersinggung, mengapa saya letakkan ANU yang Universitas ternama di sana pada posisi ketiga. Saya jawab karena saya belum familiar dengan dosen-dosennya. Lalu dia berkata kalau saya mau studi ke ANU, maka pasti diterima dan bisa berangkat bulan depan. Karena dia sudah membaca academis recird saya saat mengambil Master, akhirnya saya melanjutkan ke ANU," katanya.
Saat menempuh S3 di Australia, Indonesia dilanda krisis ekonomi. Maka akhirnya Iman memutuskn untuk meneliti krisis ekonomi Indonesia sebagai bahan untuk thesis PhD. "Mulailah saya memasuki dunia perbankan. Jadilah saya ekonom by accident. Dan saya jadi lebih tertarik menjadi ekonom. Karena sebelumnya telah mendapatkan Ekonomi Makro, Ekonometrik, dan Ekonomi Sumber Daya saat S2," katanya.
Iman menyelesaikan Thesis PhD Indonesia's Deep Economic Crisis; The Role of Banking Sector in Its Origin and Propagation pada 2000. Sepulang dari Australia, dia dan rekan-rekan mendirikan Institute for Development of Economic and Finance (INDEF). Dia menjabat sebagai direktur INDEF mulai November 2002 hingga kini.
Iman mengaku sebagai seorang yang ingin fokus dengan bidang ekonomi yang digeluti. Karena itu membaca buku-buku ekonomi terbaru menjadi keharusan baginya. "Saya jadi nggak sempat membaca buku-buku lain. Saya ingin fokus. Ini sebagai tanggng jawab profesional. Nah sebagai selingan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan spiritual, saya sering ikut pengajian. Di sini saya dalam posisi sebagai pendengar atau orang yang belajar. Bukan sebagai pembicara atau pakar," katanya.
Bersama rekan-rekan seprofesi Iman sering memberikan kritik kepada pemerintah. Menurut pendapat dia, memberikan kritik adalah sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan moral bagi masyarakat. "Mungkin kritik kami hanya sumbangan kecil yang berfungsi untuk menambah alternatif pemecahan permasalahan poerekonomian nasional yang berdampak bagi masyarakat. Itu saja, dan kami tidak memosisikan diri menjadi musuh pemerintah," kata dia.(Hartono Harimurti-35)

AYU UTAMI



Minggu, 05 Februari 2006
Ayu Utami: Pengaturan Pornografi Harus Proporsional

SAAT novel Saman mendapatkan Hadiah Pertama Lomba Tulis Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan kemudian terbit pada 1998, Ayu Utami dianggap telah mengeksploitasi seks. Banyak yang menganggap karyanya sebagai pornografi yang dibalut kesusastraan. Banyak pula yang menganggap Saman sebagai teks yang menyodorkan liberalisasi dan pembelaan atas keterkungkungan perempuan dalam memperbincangkan seks. Ayu bergeming. Dia kemudian menghasilkan novel Larung dan prosa Si Parasit Lajang.
Malah di tengah kritik dan pujian, tiba-tiba Kerajaan Belanda memberi Prince Claus Award pada novel Saman. Ini menjadikan Ayu sebagai pioner teks-teks yang menyinggung seks dengan cara yang indah dan terbuka. Lalu, apa komentar dia tentang pornografi dan pornoaksi? Apakah dia menentang Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi? Berikut petikan perbincangan dengan dia di Kafe Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat lalu.


Mengapa masalah RUU Pornografi dan Pornoaksi menjadi polemik yang sedemikian seru di Tanah Air kita?


Untuk menjawab hal itu, maka pertanyaan pertama saya adalah, apakah persoalan pornografi dan pornoaksi itu sudah sedemikian merusak bangsa kita? Sebenarnya dengan adanya RUU yang represif, itu menunjukkan ada ketakutan sedemikian besar terhadap sesuatu yang dirumuskan sebagai pronografi dan pornoaksi. Jadi, ada baiknya sebelum terlalu jauh, kita pertanyakan dulu mengapa sampai harus dibuat RUU seperti itu. Kontroversi berikutnya: kita akan hidup dalam bahaya bahaya, karena kehidupan privat seseorang akan direpresi.
Ini bisa terlihat dari pasal-pasalnya. Misalnya tentang berciuman di muka umum. Sebetulnya sampai sejauh ini siapa yang mau terang-terangan berciuman di muka umum? Kalau mengenai pemerkosaan, saya setuju sekali, karena banyak kejadiannya. Dan itu bisa menimbulkan berbagai trauma bagi korbannya. Terus mengenai goyang pantat, itu ada berapa kasus? Kalau misalnya ini dilakukan di wilayah ''abu-abu'' seperti taman, kan ada maksud agar tidak terlihat dan mengganggu banyak orang? Jadi, ini bisa saja masuk wilayah privat seseorang. Masa hal seperti itu dianggap sebuah perbuatan kriminal? Nah, dengan RUU ini semuanya jadi dikriminalkan.
Saya melihat RUU ini akan mengaburkan batasan ruang publik dan privat. Selain itu sifatnya juga sangat bergantung pada tafsir. Hukum yang menimbulkan banyak tafsir tentu berbahaya. Coba kita ingat UU Subversif saat Orde Baru. Di situ banyak pasal karet yang bisa ditafsirkan penguasa, sehingga bisa digunakan dengan mudah untuk menjaring dan menekan orang-orang yang tidak disukai pemerintah.
Lalu tentang eksploitasi. Apa batasannya? Pornografi itu, konon adalah segala sesuatu yang mengeksploitasi bagian tubuh sensual wanita. Bagian tubuh yang sensual itu batasannya yang mana? Jauh lebih masuk akal kalau disebutkan saja. Misalnya tidak boleh kelihatan puting dan bulu kemaluannya. Jadi, yang pasti-pasti sajalah. Selain itu, dasar pemikiran atau roh UU itu juga absurd, karena membuat banyak hal menjadi porno.
Misalnya tidak lagi ada pemisahan antara yang seksual, erotis, dan porno. Menurut saya seksualitas itu bagian yang inheren dalam diri manusia. Secara normal kita semua punya dorongan seks. Itu milik atau hak asasi individu. Nah di RUU yang didesak disahkan itu tidak ada pemikiran seperti ini. Yang ada cuma ketakutan sehingga membuat semuanya jadi porno.
Yang menarik, di pasal pengecualian. Benda-benda pornografi diperbolehkan untuk penyembuhan, ilmu pengetahuan, olahraga, dan sebagainya. Kok hal-hal semacam itu didefinisikan sebagai porno. Masa orang memakai baju renang dianggap porno.


Jadi hakikat pornografi dan pornoaksi itu seperti apa?


Pornografi, ya karena ada kata grafi berarti tulisan, guratan yang porno. Yang menulis ya berniat untuk itu. Tapi ini juga diakui sebagai pembangkit fantasi kita, sebagaimana yang sudah saya katakan tadi. Nah sekarang tentang pornoaksi. Saya baru dengar kata pornoaksi ya di negeri ini. Di negara lain tidak ada kata-kata semacam itu. Sebenarnya pornoaksi itu dibentuk dari pornografi. Namun setelah dirasa pornografi itu tidak bisa menjerat seseorang, atau hal-hal yang tidak bersifat tulisan, guratan, dan cetakan, maka dibentuklah istilah pornoaksi. Seharusnya sudah cukup dengan pasal melanggar kesusilaan, tanpa harus pornoaksi. Ya kalau memakai bikini jalan-jalan di mal atau masuk tempat ibadah kan tidak pantas dan itu bisa dianggap melanggar susila. Menurut saya pornoaksi adalah sesuatu yang mengada-ada.

Bagaimana sebaiknya kita berelasi dengan sesuatu yang dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi itu?


UU ini yang penting harus melindungi pihak yang lemah, bukan melarang erotisme atau fantasi seseorang. Pihak yang lemah itu adalah anak-anak di bawah umur,
perempuan, atau mereka yang bergolongan ekonomi lemah dan rentan dieksploitasi secara seksual. Saya setuju pornografi harus diatur, tetapi pengaturannya harus proporsional.
Mari kita berdiskusi tentang blue film. Film seperti itu bisa bermanfaat bila ditonton oleh orang yang tepat. Saya ingat guru agama saya saat SMP dulu. Dia tanya saya dan teman-teman mengenai film porno. Langsung saja saya dan teman-teman cenderung berpikir puritan, lalu bilang, ''Itu nggak bener, Pak.''
Eh, sang guru agama malah menjelaskan sisi positif dan negatifnya. Lalu kami sadar kalau sebenarnya segala sesuatu itu harus dipandang secara menyeluruh seperti itu. Saya katakan film porno ada manfaatnya untuk membangkitkan fantasi atau edukasi sehingga keluarga bisa harmonis. Namun bila pembuatan film porno itu ada unsur penipuan, mengeksploitasi pemain, atau memainkan anak-anak di bawah umur, serta penyebarannya tidak terkontrol, sehingga bisa dibeli dan ditonton dengan mudah oleh anak-anak, itu baru masalah serius. Jadi, harus dibuat aturan yang tegas untuk menghentikan semua kecerobohan ini.


Anda melihat penanganan pornografi di negara lain lebih baik?


Saya kira kita harus berelasi dengan pornografi secara dewasa. Contohnya di negara-negara Barat atau negara maju di Asia seperti Jepang. Hal-hal yang bersifat pornografi tampak jelas aturannya. bahkan ada sex shop segala.. Mari kita bertanya, apakah hal-hal semacam itu menjadikan mereka manusia-manusia bejat? Apakah angka perkosaan menjadi sangat tinggi? Ternyata tidak juga.
Yang menarik, masyarakat Jepang itu ternyata menyukai komik seks yang menurut saya kejam dan kasar. Tapi mereka bisa menjadikan gambar yang berlendir-lendir dan berdarah-darah itu hanya sebagai batasan fantasi yang mereka sukai. Jadi mereka tetap santun, tetap progresif, dan pintar, serta tidak mudah menyerah menghadapi keadaan.
Kita itu ternyata juga punya banyak dosa. Tidak lebih suci daripada Amerika dan Jepang yang sering kita maki-maki. Ya, di luar negeri pornografi dijual di sex shop, tetapi tidak semua orang bisa belanja di sex shop. Kalau belum cukup umur, ya ditolak mentah-mentah oleh si pemilik toko. Di sana penegakkan hukum tegas. Bila ketahuan dan diusut, si pemilik toko yang teledor menjual kepada yang tidak berhak, bisa terkena hukuman. Nah coba dibandingkan dengan kondisi masyarakat kita. Makin dilarang kok makin nekad ya? Tabloid yang menampilkan gambar sangat seronok, sangat vulgar dijual bebas di jalan-jalan. Penjajanya juga tidak sembunyi-sembunyi lagi. Langsung ditawarkan ke mobil-mobil yang lewat. Lalu apa penjual kita itu bisa menolak kalau ada anak-anak membeli tabloid itu? Apalagi harganya juga cukup terjangkau.
Juga penjualan VCD porno. Bila kita lihat di Glodok, di penjuru Jakarta dan kota-kota kecil lain, VCD semacam itu dijual terang-terangan. Ada yang transaksi pembeliannya harus dengan bisik-bisik dulu. Tapi pada prinsipnya VCD itru sangat rentan jatuh ke tangan yang belum berhak. Ini yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu.
Mereka yang belum berhak, atau mereka yang sudah berhak tetapi tidak bersikap dewasa atau proporsional, berpotensi melakukan perbuatan kriminal, seperti pemerkosaan dan sebagainya. Ini harus dihukum berat agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Jadi intinya jangan hukum kesempatan untuk berfantasi sesuai dengan naluri seks seseorang, tetapi hukumlah perbuatan kriminalnya.

Saat ini begitu merebak aksi menentang penerbitan Playboy versi Indonesia. Padahal situs porno di internet sudah sekian lama ada di sekitar kita. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?


Orang Indonesia itu selalu ingin show up. Kalau protes, mereka itu ingin memprotes sesuatu yang bergengsi. Playboy kan sudah mendunia, sudah menjadi raja istilahnya. Yang kedua orang kita itu sangat anti-Barat. Dunia Barat itu dianggap biang kerusakan nilai-nilai budaya kita. Ada semacam xenophobia. Tapi coba kita kembali melihat, apakah tabloid vulgar lokal itu tidak merusak moral bangsa kita juga? Ayo kalau dilarang, harus tegas larang semuanya. Namun saya yakin banyak yang tidak meginginkan hal itu. Cara yang baik ya dibuat aturan peredaran dan penjualannya seperti di dunia Barat. Marilah kita mulai berpikir secara dewasa.


Bagaimana komentar Anda jika UU ini dimaksudkan untuk menjaga harkat martabat kaum perempuan?


Menurut saya orang yang mau menutup tubuh perempuan secara utuh dan orang yang mau menelanjangi perempuan punya sebuah kesamaan. Yaitu mereka melihat perempuan sebagai objek erotisme belaka. Mereka tidak mampu melihat perempuan secara wajar. Padahal banyak hal ada pada diri perempuan. Tidak sekadar erotisme saja. Misalnya saat meewawancarai saya, dalam pikiran Anda hanya muncul keerotisan, bisa jadi Anda malah ngelantur dan tidak fokus. Namun karena Anda melihat dari sisi yang lain -mungkin karena Anda menganggap saya sebagai pekerja seni, wartawan, atau mitra kerja yang produktif- maka tidak mungkin keerotisan saya membuat Anda sampai terangsang.
Jadi, jangan kita mudah terjebak terhadap dalih-dalih yang sok melindungi harkat dan martabat, tetapi sesunggunya memenjarakan perempuan sebagai objek erotisme belaka. Ini disebabkan produk adat maupun agama itu banyak ditafsirkan secara patriarkat. Jadi, segalanya dilihat melulu dari kacamata laki-laki saja. Coba segalanya dilihat secara setara, maka isu RUU untuk menyelamatkan harkat dan martabat perempuan sudah tidak perlu muncul lagi. Saya lihat di Barat, sudah ada persamaan laki-laki dan perempuan. Di Asia sampai saat ini masih tetap saja segalanya dilihat dari kacamata laki-laki. Juga dalam persoalan pornografi. Ini tidak adil! (Hartono Harimurti-35)



Mantan Model Yang Selalu Memberontak

SIAPA
yang tak mengenal penulis novel Saman yang telah dicetak puluhan kali itu? Ya, siapa yang tak mengenal Ayu Utami? Yang jelas, perjalanan perempuan bernama lengkap Justina Ayu Utami ini, sangat beragam, tetapi tidak lepas dari seni. Saat di SMP dan SMA, dia gemar melukis. Dari melukis, dengan menerima order dari rekan atau dari famili, dia bisa mendapatkan uang sendiri. Inilah yang menyebabkan dia ingin mendaftar ke Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Namun keinginan tersebut dilarang oleh orang tua. Anehnya, Ayu yang biasa bersikap keras alias memberontak mengalah dan memilih kuliah di Fakultas Sastra UI, Jurusan Sastra Rusia.
Saat kuliah dia -yang saat remaja mengaku tomboi- pernah menyelami dunia model setelah menjadi Finalis Wajah Femina 1990. Namun dia merasa profesi itu tidak sesuai dengan sifatnya.
Ayu sempat pula menjadi wartawati di berbagai media massa. Hal itu diawali dari kemenangan cerpennya di Majalah Humor. Dari menjadi reporter di Majalah Humor Ayu kemudian bekerja di Majalah Matra. Lalu pindah ke Forum Keadilan. Setelah itu pindah lagi ke Majalah D&R. Pendeknya, dia berkali-kali berpindah tempat kerja. Itu akibat dari sifat suka bertanya-tanya dan selalu gelisah mencari jawaban. Setelah berulang-ulang pindah, dia terdampar di Komunitas Utan Kayu. Di komunitas yang antara lain bercokol nama-nama besar semacam Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge ini, dia antara lain menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Di komunitas ini pula dia melahirkan novel Saman yang dianggap berani mengungkapkan sisi gelap-terang seks itu.
Menurut perempuan kelahiran Bogor 21 November 1968 ini, bagi yang sudah membaca novel Saman, mereka akan melihat penggambaran keerotisan khusus yang berbeda dari keerotisan umum. ''Di novel itu, yang ada adalah sepasang kekasih yang berfantasi dan masing-masing menceritakan gairahnya. Saya tidak menampilkan seks sebagai cerita tentang seks, tetapi seks sebagai problem bagi perempuan. Karena represi terhadap perempuan begitu berat, maka ia harus dipecahkan. Itu wacana yang saya berikan,'' paparnya.
Walaupun bakat menulis baru terasah saat berprofesi sebagai wartawan, tetapi sejak kecil dia sudah sering berimajinasi dan menceritakan imajinasi itu kepada orang lain. ''Waktu kecil saya suka membaca Tintin dan Lima Sekawan. Itu kan cerita petualangan. Sering sesudah itu saya lalu berimajinasi dan menceritakannya kepada kakak saya. Begitu juga sebaliknya.''

Terganggu
Hidup yang demikian itu memang tampak indah. Tidak ada gangguankah hidup peremmpuan energik ini? Ternyata ada. Saat bertemu dengan anak laki-laki idiot di sebuah gereja, misalnya pikirannya terteror. Dia merasa kasihan dan ingin menolong anak itu. '''Saya menyadari betapa saya tidak bisa hidup bersamanya. Walaupun idiot, secara fisiologis, dia adalah makhluk dewasa, sehingga tertarik secara seksual kepada saya. Karena tidak bisa bersikap proporsional akhirnya saya putuskan menjauhi dia,'' kata putri pasangan YH Sutaryo dan Suhartinah ini.
Yang juga mengganggu dirinya adalah saat bertemu dengan perempuan pengemis yang begitu buruk rupa. Dia berpikir mengapa kehidupan itu begitu tidak adil. Mengapa ada orang yang mengalami penderitaan sampai berlipat ganda? ''Saya masih mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak adil ini. Kalau saya bisa berdamai, berarti saya sudah mati,'' kata bungsu lima bersaudara ini.
Berkaitan dengan akan disahkannya RUU Pornografi dan Pornoaksi, Ayu akan menyikapinya dengan pendekatan budaya. ''Saya sudah berencana membuat naskah drama yang membayangkan bagaimana bila Rancangan Undang-undang itu disahkan menjadi Undang-undang dan diterapkan.''
Judulnya? ''Aduh belum saya temukan,'' kata dia.
Tak perlu kaget melihat pemberontakan penganut Katolik taat ini. Di rumah pun dia memberontak. Dia, misalnya, njangkar saat memanggil kakak-kakaknya. ''Saya hanya mau panggil Mbak kalau ada orang tua,'' jelas perempuan Jawa yang bergaul siapa pun dengan cara-cara yang sangat ''Jakarta'' ini.
''Saya tak mau terikat adat,'' tutur Ayu. Ya, Ayu tampaknya percaya pada premis Albert Camus, ''Aku memberontak, karena itu aku ada.'' Ya, Ayu memberontak, karena itu ia ada dan berguna bagi sesama. (Hartono Harimurti-35)

EFFENDI GAZALI



Minggu, 21 Agustus 2005
Effendi Gazali: Aceh dan Proyek Para Saudagar Itu

KESEPAKATAN
perdamaian RI-GAM di Helsinki ternyata masih membuahkan banyak persoalan. Ada yang menganggap juri runding Indonesia sama sekali tak mengerti konsekuensi politis yang bakal disandang oleh bangsa ini. Ada yang menganggap sang juru runding tak paham pada "komunikasi politik". Benarkah? Berikut perbincangan dengan pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendi Gazali MPS ID PhD di Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Salemba, belum lama ini.


Kesepakatan Damai antara Pemerintah RI dan GAM baru saja ditandatangani di Helsinki. Setelah itu muncul berbagai kerisauan dan pesimistis. Bagaimana anda melihat hal ini dari kacamata komunikasi politik?


Komunikasi politik itu lebih "seru" bila untuk melihat proses politik. Di situlah permulaan terjadi sebuah produk atau policy pemerintah. Karena berbicara masalah komunikasi politik, maka kita lihat siapa-siapa saja yang menjadi aktor. Siapa yang menjadi aktor utama serta siapa yang menjadi peran pembantu. Berbicara mengenai aktor dalam kesepakatan damai di Helsinki ini, saya melihat ada kerancuan.
Sebetulnya itu perundingan antara sesama orang Indonesia atau antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah GAM. Kalau sesama orang Indonesia mengapa harus dilakukan di luar negeri, terlebih lagi di sebuah negara Eropa, Finlandia. Mengapa tidak di negara anggota ASEAN saja? Atau mengapa harus di luar wilayah Indonesia kalau ini masalah yang diklaim pemerintah RI sebagai masalah lokal.
Menjelang pertemuan di Helsinki 15 Agustus lalu, lalu muncul AMM (Aceh Monitoring Mission). AMM ini dengan kewenangan-kewenangannya nanti akan menjadi aktor utama. Lalu ada juga aktor yang kehilangan panggung. Yaitu anggota DPR. Menurut aturan perundangan apa yang dilakukan pemerintah RI di Helsinki harus sepersetujuan DPR.
Kemudian pemerintah mengeluarkan dalil lain, yaitu ini bukan peperangan antarnegara.

Jadi tidak perlu persetujuan DPR. Aktor yang kehilangan panggung mengajukan berbagai opini ke publik. Publik akhirnya terhentak, lalu akhirnya muncul berbagai kekhawatiran di mata publik yang kini aktif memperhatikan "komunikasi politik" yang dilakukan aktor-aktor itu.


Menurut Anda apakah komunikasi politik yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa dikatakan gagal?


Kalau kita lihat dari proses yang dilakukan pemerintah, saya pribadi mengatakan itu adalah suatu yang kontraproduktif. Memang ada komitmen antara pemerintah dengan GAM, bahwa butir-butir yang melandasi kesepakatan damai tersebut tidak boleh dipublikasikan, sebelum ditandatangani. Kalau kedua-duanya memegang komitmen tersebut ya tidak masalah.
Namun kalau dilihat dari proses komunikasi politik sesuatu yang sangat penting dan berdampak besar bagi bangsa ini, kok ditutup-tutupi, ya tetap kita anggap cacat atau kontraproduktif.
Pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan. Mengapa harus tertutup? Apa kalau terbuka akan menunjukkan begitu kelemahan pemerintah sehingga mendapat reaksi dari banyak pihak? Namun sekarang sudah ditandatangani. Karena itu boleh dibuka point-point-nya itu. Akhirnya kita mengetahui banyak pihak yang kecewa. Karena ternyata hasil dari proses itu tidak seperti yang kita bayangkan.


Seperti apa contohnya?


Ya seperti kewenangan memiliki bendera sendiri. Itu tidak ditunjang oleh keterangan lain yang rinci. Misalnya harus dikibarkan lebih rendah dari Sang Merah Putih. Karena tidak ada aturan penunjang yang rinci, maka ini akan menimbulkan berbagai interpretasi. Coba bayangkan misalnya di Aceh nanti ada dua bendera yang berkibar dengan sama tinggi.

Apa kesan orang awam? Ada bendera dua negara yang berkibar. Lalu timbul pertanyaan lagi, kok dua negara? Katanya perundingan antarsesama warga bangsa. Kok begini jadinya?
Lagipula bendera yang dikibarkan itu kan bendera Gerakan Aceh 'Merdeka'. Lain lho kesannya, kalau bendera yang dikibarkan itu bendera budaya Aceh. Selain itu, perbedaan interpretasi tersebut juga berpotensi menyulut konflik. Karena di sisi lain ada pihak yang euforia lalu berusaha menafsirkan sebebas-bebasnya sesuai dengan kepentingannya.
Lalu di sisi lain ada kekhawatiran, kecemasan, yang mendorong untuk melakukan pembatasan-pembatasan. Contoh lain yang dapat menimbulkan persoalan dari komunikasi politik adalah, semua pejabat yang kan ditempatkan di Aceh, nanti harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh, begitu sebutannya bukan Gubernur seperti provinsi lain. Lha, Kapolda atau Kajati dan sebagainya itu kan wakil pemerintah pusat.
Pemerintah pusat tentu punya pertimbangan tersendiri untuk menempatkan pejabatnya di suatu daerah. Tentunya dalam scope untuk kepentingan nasional. Mengapa harus dikalahkan kepentingan yang begitu lokal sifatnya. Ini kan menunjukkan bahwa pemerintah pusat akhirnya harus mengikuti atau tunduk pada kehendak Kepala Pemerintah Aceh.
Begitu juga dengan apa yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang Aceh harus sepersetujuan legislatif atau DPRD Aceh. Mengapa NKRI tidak ditungkan secara eksplisit. Begitu juga UUD 1945. Okelah mengenai hasil dari sebuah proses politik. Ini masih bisa diperdebatkan. Mungkin saja nantinya wakil-wakil pemerintah bisa menggiring wakil-wakil GAM untuk menginterpretasikan ke sebuah pemahaman, yang tentunya tetap aman untuk konsep NKRI.
Namun yang saya sayangkan hal-hal seperti ini kan bisa dikomunikasikan terlebih dahulu. Mengapa pemerintah malah memilih jalan yang diam-diam? Sekarang sudah terbuka seperti ini. Banyak di antara kita yang kecewa. Lalu siapa yang berhak untuk menjelaskan masalah bendera? Orang-orang pemerintah memilih diam, Jusuf Kalla juga belum kita dengar komentarnya. SBY dalam pidatonyajuga tidak ngomong masalah bendera. Juga keharusan untuk mengonsultasikan Kapolda atau Kajati kepada Kepala Daerah Aceh, juga belum ada yang menjelaskan ke publik mengapa pemerintah menempuh langkah yang demikian.


Lalu bagaimana nasib butir-butir kesepakatan itu? Apakah kita harus menerima begitu saja hal-hal yang berpotensi menimbulkan problem?


Ini semua tergantung DPR. Aktor yang kehilangan panggung ini harus kembali ke panggung. DPR harus berani meminta klarifikasi pemerintah dan menggelar sidang pleno untuk itu. Sampai sekarang kita belum dengar ada rencana itu. Kita berharap saja DPR segera membuat gebrakan mumpung "masih anget-anget" masalah in
Mengapa pemerintah "nekat" memilih cara yang tertutup? Kan kini digembar-gemborkan soal transparansi. Mengapa pemerintah begitu lunak sehingga terjadi butir-butir kesepakatan yang berpotensi menimbulkan problem? Alasannya bisa seribu satu macam. Yang pertama, kalau dari komunikasi politik, terkait dengan ada tarik-menarik di DPR antara pihak yang pro maupun yang kontra pemerintah terkait policy tentang Aceh, maka saya menilai pemerintah itu terlalu confidence. Pemerintah begitu percaya diri dan berpikir tidak ada yang bisa mengganjal rencananya, berdasarkan hitung-hitungan kursi di DPR. Jadi pihak-pihak di DPR yang akan mempersoalkan kesepakatan damai di Aceh sebagai sesuatu yang cacat politik pun, dianggap pemerintah akan kalah bila harus melalui voting.
Dan ini sudah teruji, saat pemerintah akan menaikkan harga BBM. Waktu DPR meramaikan BBM, dukungan masyarakat begitu tercurah kepada DPR. Namun dengan cara-cara yang "aneh" kalangan DPR yang propemerintah bisa menggagalkan. Jadi ini hitung-hitungan yang hanya sederhana saja sebenarnya.
Yang kedua, ini karena untuk menyukseskan masalah proyek "saudagar" saja. Jadi permasalahan Aceh harus cepat-cepat diselesaikan, agar proyek-proyek para saudagar dapat segera berjalan dengan lancar. Ini sama halnya ketika AS menyerbu Irak. Setelah rezim Saddam Husein tumbang, segeralah mengalir program-program pembangunan untuk Irak yang dikomandoi Dick Chenney, Burton, dan pengusaha-pengusaha raksasa AS yang dekat dengan Presiden Bush.

Yang ketiga, ada yang menduga kalau langkah ini diambil sebagai upaya untuk meraih penghargaan atau pengakuan internasional. Mungkin saja ada keinginan dari para pemimpin kita, agar dicalonkan mendapat Nobel Perdamaian. Selain itu bisa juga terkait lemahnya keuangan kita, karena utang yang begitu besar. Belum lagi dengan adanya tsunami. Mungkin saja ada agenda, akan datang bantuan yang besar, atau ada penghapusan utang sehingga beban pemerintah saat ini menjadi ringan. Jadi dugaan-dugaannya bisa mencapai hal-hal yang sangat jauh. Logis kan orang berpikir seperti itu.


Lalu apa hal yang positif yang dicapai pemerintah?


Kita harus melihat dari dua sisi. Dari sisi pemerintah: cara mengondisikan rakyatnya, bisa dikatakan oke. Namun dari sisi kepentingan untuk mencapai hal yang makro, dalam hal ini menjaga keutuhan NKRI, ini saya nilai mengkhawatirkan. Mengapa saya katakan pemerintah berhasil mengondisikan suasana? Karena pemerintah berhasil membuat framing atau pembingkaian atau pengotak-ngotakan.

Wacana yang dimunculkan pemerintah adalah, mereka yang menolak kesepakatan damai adalah orang-orang yang senang berperang. Senang menumpahkan darah, antiperdamaian, atau bahkan dianggap orang yang selama ini mencari untung besar di tengah kekacauan. Di satu sisi juga dimunculkan bagaimana penderitaan rakyat Aceh selama konflik antara pemerintah dan GAM, juga adanya bencana tsunami yang begitu parah.
Karena itu terangkum suatu pemikiran bahwa langkah damai adalah satu-satunya jalan agar permasalahan Aceh dapat segera diatasi. Media juga saya nilai 'termakan' oleh framing pemerintah. Media ini cinta damai atau cinta perang sih. Kalau cinta damai, kalau cinta perikemanusiaan ya dukung dong pemerintah. Sebagian besar media langsung menyambut besar-besaran penandatanganan di Helsinki dengan memaparkan berbagai harapan-harapan. Namun tidak semua media, karena ada juga yang berani tampil beda. Jadi framing-nya bisa dibilang sukses. Padahal bukan di situ letak permasalahannya. Damai it's ok, tetapi bagaimana proses menuju perdamaian itu. Apakah sudah menempuh jalur yang sesuai dengan prosedur. Lalu apakah sudah selaras dengan cita-cita luhur para pendiri negeri ini yaitu NKRI. Ya sangat disesalkan bila untuk mencapai perdamaian itu keutuhan NKRI tergadai.
Jadi bisa dikatakan kalau yang memenangi komunikasi politik untuk masalah ini adalah GAM?
Saya pribadi cenderung mengatakan ya. Agak sulit mengatakan kedua pihak ini mau mencapai perdamaian karena masalah emosional. Ungkapan sudah lama kita berkelahi, marilah kita berdamai, tiada hujan yang tidak berhenti, itu hanya bumbu-bumbu untuk mengalihkan dari masalah politik real ke masalah emosional, dan kemanusiaan. Ini adalah politik yang real, hitung-hitungan yang real, yang memungkinkan GAM lebih berpeluang mendapat keuntungan pada masa depan. Kalau untuk masalah DPR sih bisa diatasi, tapi masalah penerapannya di lapangan nanti pasti berpotensi menimbulkan kekisruhan.


Seperti apa misalnya?


Saya menilai GAM itu tidak bodoh, karena banyak permintaan mereka yang mereka tahu persis kalau didesakkan pasti diterima oleh pemerintah. Maka hal itu nanti akan memberikan persoalan bagi pemerintah. Mari kita bicarakan keterlibatan AMM sebagai pemantau. Okelah pemerintah langsung mengemukakan ke publik kalau kita juga pernah lo bekerja untuk menjaga perdamaian di negara-negara lain seperti halnya AMM. Seperti di Kamboja, Timur Tengah dan sebagainya. Tapi yang perlu dicatat kita tidak punya kewenangan yang sehebat AMM. Kita aktif menjadi pemantau dan penjaga perdamaian dengan bendera PBB.
Jadi salah kalau kita terjebak lalu menganalogikan seperti yang sudah pernah kita lakukan pada masa lalu. GAM itu punya pengalaman menginternasionalisasikan perjuangan. Karena itu salah besar kalau yang menjadi hakim dalam kasus pertikaian antara pemerintah dan GAM adalah pihak orang asing. Pascapenandatanganan di Helsinki 15 Agustus lalu, peluang terjadinya kemelut besar sekali. Misalnya ada gerakan pasukan misterius yang membunuhi warga Aceh. Bisa saja gerakan ini untuk memfitnah pasukan TNI. Maka yang dibunuh adalah anggota GAM yang sudah insyaf, atau keluarga mereka. Terjadi kerusuhan di sana, maka yang menjadi wasit ya AMM. Kita bisa bilang itu direkayasa GAM, tetapi hasil akhirnya yang memutuskan juga AMM. Jadi GAM terlihat luhur mau berdamai, tapi sebenarnya sudah menumpuk berbagai 'senjata' atau 'bom waktu' bukan dalam arti yang sebenarnya, dan siap meledakkan pada isaat yang tepat.
Maka sangat disesalkan kalau pemerintah tidak mempunyai second opinion, third opinion bahkan lebih. Padahal di depan mata sudah nampak akan terjadi masalah yang serius. Kita jadi bertanya sejauh mana pemerintah kita melibatkan orang-orang yang benar-benar andal dalam berdiplomasi dengan GAM.
Padahal Deplu punya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu. Juga ada satu lagi pertanyaan, negara yang dilanda konflik kan tidak hanya Indonesia, Filipina juga masih ada konflik dengan Moro, Thailand juga punya konflik di wilayah selatan. Namun apakah mereka merasa harus memakai mediator asing seperti Finlandia, kan tidak. Apakah AMM itu adalah sebuah bentuk baku yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Kan tidak, lalu mengapa kita tidak menolaknya. Mengapa kita harus seperti itu? Mengapa wakil-wakil kita tidak melakukan pendekatan yang critical, tetapi malah berpikir terlalu positif.


Bagaimana prediksi Anda ke depan?


Akan terjadi banyak gangguan pada perdamaian di sana. Hanya saya tetap berharap pemerintah segera mengantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk. Saya sangat-sangat tidak rela Aceh akan lepas dari NKRI. Karena begitu Aceh lepas, maka adalah sebuah keniscayaan bila provinsi kaya lain akan mengikuti jejaknya. Coba kita lihat bagaimana orang Papua ditangkap aparat saat mengibarkan bendera bintang kejora. Mereka pasti akan menuntut hal yang sama begitu tahu kalau orang Aceh boleh mengibarkan bendera. Begitu juga kewenangan-kewenangan yang dimiliki 'pemerintah Aceh', orang Papua pasti menuntut hal sama. Jadi kondisi seperti ini ibarat menaruh korek api di dalam jerami. (Hartono Harimurti-35)



Sang Jomblo Yang Intelek

SIAPA
yang menyangka jika Effendi Gazali MPS ID PhD ternyata pernah menjadi pelawak. Pria kelahiran Padang 5 Desember 1966 ini pada tahun 80-an pernah ngetop bersama grup lawak mahasiswa Uni-versitas Indonesia bernama Ikatan Remaja Memble Aje (IRMA). "Saya ini humoris. Dan saya suka menonton pelawak manggung. Lalu saya salurkan potensi saya ini. Karena kami mahasiswa tentunya ingin dong ngelawak yang intelek gitu lho," kata Dosen Pascasarjana FISIP UI ini.
IRMA kali pertama pentas di acara-acara UI. Lalu mengisi acara ke kampus-kampus lain di Jakarta, serta umum. Saking larisnya, sampai-sampai Effendi terpaksa menyeriusi hobinya itu. "Kami sampai serius menyiapkan teman biar tidak terjadi pengulangan-pengulangan yang membuat penonton bosan. Jadi kuliah serius, ngelawak juga serius. Tapi saya nggak pernah bercita-cita jadi pelawak karena saat itu banyak pelawak yang ber-madesu alias bermasa depan suram," kata lajang asli Minang ini. Menurut pendapat dia, sebagai ukuran ngetopnya IRMA -yang lahir hampir bersamaan dengan Bagito pimpinan Miing (masih di radio)- adalah dengan tampil di TVRI 13 episode.
Namun Effendi justru kecewa. "Namun dari 13 episode yang direkam, hanya dua yang ditayangkan. Yang ditayangkan itu yang paling nggak ada apa-apanya. Lawakan kami memang sering berupa kritik sosial. Pemerintah Orde Baru ternyata gerah juga. Namun gimana lagi karena TVRI masih satu-satunya televisi."
Ketika anggotanya selesai kuliah, IRMA pun bubar. Effendi yang lulus dari Jurusan Komunikasi FISIP UI, kemudian meniti karier sebagai wartawan olahraga di Tabloid Mingguan Bola. Dia memilih menjadi wartawan, karena profesi ini sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan hobi bermain sepak bola. "Saya ingin bekerja dibidang yang saya kuasai serta yang sesuai hobi. Jadi kloplah menjadi wartawan olahraga yang meliput soal sepak bola. Saya pernah meliput Piala Dunia 1990 di Italia," kata Ketua Alumni Soccer Club (ASC) UI ini.
Selepas menjadi wartawan, dia tertarik untuk lebih mendalami komunikasi. Lalu dia masuk program Pascasarjana Fisip UI di Jurusan Komunikasi. Menjelang reformasi, pada 1997 dia dan rekan-rekan sesama mahasiswa Pascasarjana UI bergabung dalam FORUM WACANA (mahasisWA pasCA sarjaNA) UI. Effendi bahkan menjadi president Forum ini pada periode 1997-1998. "Wacana terbentuk, karena waktu itu banyak yang sinis terhadap aksi mahasiswa UI. Banyak yang mengatakan kalau itu kerja amatiran. Kami jawab ooo tunggu dulu, lihat kita dong yang dari Pascasarjana. Ada konseptor di balik aksi adik-adik kami seperti Faisal Basri, Kristianto Wibisono, Fadjul Rahman juga La Ode Ida dan saya termasuk di dalamnya," kata pria yang juga hobi diskusi dan membaca berbagai buku ini.
Effendi menyukai berdiskusi, karena menganggapnya sebagai cara yang sangat efektif untuk mentransfer pengetahuan, selain membaca buku. Lulus S2, Effendi mengabdi menjadi dosen di almamate. Dia kemudian mendapat beasiswa untuk mengambil program Master of International Comunication di
Cornell University, New York, AS. Setamat dari Cornel, Effendi mengambil PhD di bidang komunikasi politik di Nijmegen University Belanda. "Sebenarnya saya ditawari S3 di Indiana University, tapi saya tidak tertarik suasananya, karena berbeda jauh dari New York. Akhirnya saya ditawari beasiswa ke Belanda. Ya saya ambil, agar dapat suasana yang beda sekalian, karena di Eropa."
Effendi memutuskan untuk mengambil komunikasi politik karena berdasarkan pemikiran bahwa cepat atau lambat demokrasi akan berkembang di seluruh dunia. Negara-negara yang semula totaliter akan berubah menjadi demokratis. Dan itu semua bisa berjalan bila ditunjang proses komunikasi politik yang efektif dari media-media yang makin sadar akan perannya dalam sebuah perubahan. "Di Indonesia saat ini citra lebih penting daripada isi. Pemimpin terpilih karena pencitraan tanpa didukung substansi. Atau istilahnya komunikasi tanpa substansi. Karena itu saya berobsesi menghidupkan Salemba School untuk untuk meningkatkan media literacy dan campaign literacy di Indonesia," kata dia.
Menurut pendapat dia, masyarakat perlu disadarkan agar nanti tidak segan-segan menboikot tayangan atau gambar, iklan dan sebagainya yang tidak mendidik alias menjerumuskan. Atau mengadukan hal itu ke Komisi Penyiaran Indonesia, dengan demikian rakyat tidak pasrah begitu saja dicekoki sesuatu yang tidak bermutu.
Bagaiman keluarga Effendi? Ternyata dia masih menjomblo alias membujang. "Saya pernah mempunyai girlfriend saat kuliah di Cornell. Saat saya mau serius alias mau mengajak dia menikah dan ikut ke Indonesia, dia menolak. Penolakannya itu lebih karena harus ikut ke Indonesia he he he, tapi kan saya harus kembali ke Indonesia," katanya. (Hartono Harimurti-35)